The Demians part 26

demian n

Tittle : The Demians

Author : Ohmija

Cast : BTS and Seulgi Red Velvet, Irene Red Velvet, Kim Saeron and DIA Chaeyeon

Genre : Action, Romance, Comedy, Friendship

Jungkook langsung berdiri dari duduknya dengan mata terbelalak, “Apa yang sedang noona katakan?”

“Kau tidak boleh tinggal di tempat ini lagi. Kau harus pulang ke rumahmu.”

Saeron menoleh menatap Jungkook. Khawatir. Apa ini ada hubungannya dengan kejadian di bandara tadi?

Jungkook mengambil tas ranselnya dan memakainya di punggung, sebelum pergi, ia berdiri berhadapan dengan Saeron dengan kedua tangan yang mencekal pundak gadis itu. “Kau tidak perlu khawatir. Apapun yang terjadi aku akan tetap menemuimu.”serunya lalu berlari meninggalkan tempat itu.

Kedua mata Saeron terus menatap Jungkook, mengikutinya hingga ia tak lagi terlihat. Sementara yang lain menatap gadis itu tak mengerti. Beberapa saat lalu mereka terlihat baik-baik saja, seperti tidak memiliki masalah apapun. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba mereka terlihat sedih?

“Saeron.”panggil Irene pelan. “Apa ada yang terjadi dengan kalian dan ahjussi?”

Seulgi juga mendekati gadis itu sambil menghusap pundaknya, “Kau baik-baik saja?”tanyanya.

Saeron menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan. Sebisa mungkin menutupi wajah sedihnya dan tersenyum menatap Seulgi dan Irene bergantian, “Tidak apa-apa, unnie.” Dua wanita itu tidak mengetahuinya tapi di belakang mereka Jimin tau benar jika adik perempuannya itu sedang memaksakan dirinya. “Oh ya, aku baru ingat jika ada PR yang harus aku kerjakan. Kalau begitu aku masuk dulu.” Saeron tersenyum tipis lalu masuk ke dalam rumah menuju kamarnya.

Seulgi menoleh ke belakang, mengikuti langkah Saeron lalu menghela napas panjang saat pintu sudah tertutup. Ia kemudian menatap Jimin, “Apa dia benar-benar baik-baik saja?”

Jimin hanya diam. Juga menghela napas panjang melihat tingkah laku adik perempuannya itu. Ketika kontak matanya dan Irene bertemu, keduanya sedikit membungkuk memberikan salam.

“Ku dengar kau membatalkan tiket kepergianmu, Irene-shi.” Jimin berbasa-basi.

“Oh, iya. Teman-teman tidak memperbolehkanku pergi dan aku juga harus mengurus rumah sewa ini.”

Jimin tersenyum tipis. Mengetahui siapa orang yang di maksud oleh Irene namun ia tak bicara.

“Oh ya, kenalkan. Dia adalah temanku.” Jimin memperkenalkan Seulgi. Seulgi membungkukkan tubuhnya sambil tersenyum lebar.

“Annyeonghaseo, aku adalah Seulgi.”

Irene balas tersenyum, “Aku Irene. Aku pemilik rumah sewa ini. Ah maksudku, cucu dari pemilik rumah sewa ini.”ucapnya sambil menatap Seulgi dari ujung rambut hingga ujung kaki. Gadis itu memang terlihat sederhana. Dia tidak memakai pakaian yang mencolok tapi dia terlihat berbeda. Dia sangat cantik. Dia tidak mungkin hanya teman Jimin, kan? “Aku pikir kalian memiliki hubungan lebih karena kau terlihat sangat dekat dengan Saeron juga. Aku pikir kalian…”

Jimin berdehem dan langsung menarik lengan Seulgi, tidak membiarkan Irene meneruskan ucapannya. “Bukankah ini sudah waktunya pulang? Ayo. Aku akan mengantarmu.” Jimin mengalihkan pandangannya pada Irene, “Kalau begitu, kami permisi dulu, Irene-shi.”

Seulgi sudah membuka mulutnya. Mencoba untuk protes karena dia masih ingin berada di tempat itu namun Jimin menariknya paksa menuruni anak-anak tangga. Membawa gadis itu pergi dari sana.

***___***

“Jung…” Jungkook mengabaikan panggilan Taehyung dan terus berlalu membuat pria itu mengerutkan keningnya bingung. Ekspresinya terlihat kaku seperti sedang marah. Tanpa pikir panjang, Taehyung menyusul langkahnya menuju rumah.

Jungkook menerobos masuk ke dalam rumahnya membuat tuan Jeon dan Namjoon yang kebetulan ada disana terkejut. Anak laki-laki itu berjalan lurus menghampiri tuan Jeon, mengabaikan Namjoon yang sedang menyapanya. Tuan Jeon berdiri menghadapi anak laki-laki itu, sudah tau apa yang akan di dengarnya.

“Sebenarnya apa yang sedang appa lakukan? Apa appa sedang berusaha menjauhkan kami?” Ia berseru marah. Baru saja memasuki rumah, Taehyung terkejut melihat pertengkaran keduanya. “Aku menyukainya. Dan aku sudah mengatakannya berkali-kali. Aku sangat menyukainya jadi aku tidak akan pergi kemanapun. Aku akan tetap tinggal disana!”

Jungkook berbalik, sudah akan bergegas pergi namun suara tuan Jeon menghentikan langkahnya.

“Jika kau bersikeras, aku akan membawamu pergi ke Amerika. Kau akan semakin jauh dari gadis itu.”

Jungkook berbalik kembali menatap ayahnya dengan tatapan tak percaya. “Kenapa appa melakukan ini? Bukankah awalnya appa sangat—”

“Ada banyak gadis lain di luar sana. Kau bisa mencari penggantinya dengan mudah.”

“Tapi aku tidak mau.”balas Jungkook tanpa gentar sambil menggeleng. “Aku tidak mau mencari gadis lain.”

Rahang tuan Jeon mengeras, “Jeon Jungkook!”bentaknya.

“Lalu berikan aku satu alasan kenapa aku tidak boleh bersamanya. Kenapa appa tiba-tiba berubah pikiran padahal awalnya appa juga menyukainya. Kenapa?”

“Aku benar-benar akan membawamu pergi jika kau terus bersikap seperti ini, Jeon Jungkook.”

Jungkook tertawa mendengus, “Selalu seperti ini.”lirihnya geleng-geleng kepala. “Kau selalu melarangku melakukan ini dan itu tanpa memberitahu alasannya. Kau selalu menyembunyikan semuanya dariku! Selama ini, aku selalu menahannya karena aku tidak mau membuatmu sedih. Aku melakukan semua usaha terbaikku untuk membahagiakanmu. Tapi kenapa kau memperlakukanku seperti itu lagi? Apa aku ini adalah kecil? Kau memberitahu semuanya pada Namjoon hyung dan Yoongi hyung, kenapa tidak denganku? Apa aku bukan anakmu?”

PLAKK

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Jungkook hingga membuat anak laki-laki itu jatuh terjerembap di lantai. Namjoon dan Taehyung terperangah hebat, juga tuan Jeon yang tidak menyangka jika dia akan menampar Jungkook sekeras itu.

“Ahjussi.”pekik Namjoon sementara Taehyung langsung menolong Jungkook.

“Kau baik-baik saja?”

Jungkook menolak bantuan Taehyung. Ia berdiri, kembali menatap ayahnya tepat di manik mata, “Aku benci appa.”

Jungkook pergi meninggalkan rumahnya yang bersamaan dengan tuan Jeon yang terhuyung mundur dan jatuh terduduk di kursi.

“Jeon Jungkook.”panggil Taehyung mengejarnya.

Namjoon segera menghampiri tuan Jeon karena wajah pria tua itu terlihat pucat pasi, “Ahjussi baik-baik saja? Ahjussi?”

Tuan Jeon menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia mengangkat kedua tangannya yang bergetar, menatap telapak tangan yang baru saja memberikan tamparan pada anak satu-satunya itu penuh sesal.

“Aku harus bagaimana Namjoon?” Tuan Jeon melirih.

“A-ahjussi.”

***___***

“Jeon Jungkook, tunggu.” Taehyung menahan lengan Jungkook menghentikan langkahnya.

Jungkook langsung menepisnya, “Jika hyung hanya akan membujukku untuk kembali ke rumah dan minta maaf, aku tidak akan melakukannya.”

“Jungkook.” Tahan Taehyung lagi ketika Jungkook sudah akan pergi. “Dengarkan aku!”bentaknya membuat Jungkook terdiam. Taehyung menghela napas panjang merasa bersalah karena tak bisa menahan diri. Pria itu mengacak rambutnya frustasi lalu menarik lengan Jungkook dan membawanya pergi, “Ikut aku.”

Di sebuah taman yang berada di atas bukit tak jauh dari rumah mereka, Taehyung dan Jungkook duduk bersisian sambil memandangi matahari yang perlahan-lahan mulai turun. Senja membuat suasananya semakin kelam, terlebih lagi pada Taehyung yang buruk dengan kata-kata. Sejak tadi dia terus berpikir bagaimana caranya untuk membuat Jungkook merasa lebih baik.

“Kau tau,” Dia memulai pembicaraan dengan gugup. “Orang tua pasti memiliki pemikiran yang matang sebelum melakukan sesuatu. Terlebih lagi itu untuk anaknya.”ucapnya. “Tapi Saeron juga bukanlah gadis yang buruk. Aku tau bagaimana dirinya dan dia sangat baik. Jadi sebaiknya kau bicarakan lagi dengan ahjussi agar—”

“Aku tidak mau bicara dengannya.”potong Jungkook, tatapan matanya terus mengarah ke depan. “Dia tidak akan mendengarkanku.”

“Kau belum mencobanya, kan?”

“Aku tau bagaimana sifat appa, hyung. Dia tidak akan mendengarkanku.”

Taehyung menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya pada batang pohon yang ada di belakangnya, “Kau kecewa?” Jungkook hanya diam. “Karena waktu itu aku juga tidak mengatakan apapun padamu.”

“Lupakan saja. Aku tidak ingin membahasnya.”

“Aku membunuh ayahku.” Taehyung berseru cepat, di tempatnya Jungkook seketika tertegun. “Aku menusuk perutnya dengan pisau saat dia memukuli ibuku.”

Jungkook menoleh, menatap Taehyung dengan mata terbelalak lebar, “Hyung…”

“Itu adalah alasan kenapa ibuku berada di rumah sakit jiwa sekarang. Karena suaminya terus memukulinya dan karena dia melihat anaknya membunuh suaminya. Dia mengalami depresi berat dan akhirnya jadi gila.”

“Tidak mungkin…” Jungkook kehilangan kata-katanya.

“Aku tidak bermaksud untuk menyembunyikannya tapi kau tau kenapa aku memilih untuk tidak mengatakannya padamu?” Sebenarnya itu bukan bentuk pertanyaan. “Untuk melindungimu.”seru Taehyung pelan. “Di dunia ini ada banyak hal yang tidak akan kau mengerti karena semuanya begitu rumit. Aku tidak mengelak tentang kenyataan bahwa aku telah membunuh ayahku. Aku juga tau seharusnya aku mempertanggungjawabkan perbuatanku. Hanya saja, ada seseorang yang harus aku lindungi. Seseorang yang menyelematkanku saat aku ingin mengakhiri hidupku. Dia sudah tidak memiliki siapapun jadi aku juga tidak bisa meninggalkannya.” Taehyung tersenyum kecut menatap Jungkook yang masih shock mendengar pengakuan itu. “Aku sudah mengatakan semuanya padamu jadi aku akan berhenti menjadi orang lain. Aku tidak akan lagi bersikap seolah-olah aku adalah orang baik. Tapi percayalah, aku sedang berada dalam proses untuk menjadi orang baik.”

Jungkook sama sekali tidak bersuara. Tubuhnya membeku. Pita suaranya seakan tak berfungsi.

Dia tau ada banyak hal yang di sembunyikan darinya. Rumahnya di penuhi dengan banyak rahasia. Orang-orang yang tiba-tiba saja datang dan tumbuh bersamanya. Hanya saja dia memilih untuk tidak bertanya, terus berusaha menahan dirinya agar dia tidak kehilangan orang-orang itu. Dia kesepian. Dia hanya memiliki mereka. Jika dia bertanya, dia takut seseorang akan mengambil mereka. Dia takut mereka akan pergi.

“Aku tau ini sedikit memalukan, seolah aku tidak punya rasa malu. Tapi mengatakan jika kau membenci ayahmu bukanlah hal yang baik. Kata-kata itu bisa menyakiti ayahmu. Walaupun aku juga akan mendukungmu untuk mempertahankan Saeron tapi sebaiknya kau pulang dan minta maaf.” Taehyung tersenyum tipis. “Jangan menyesal sepertiku.” Ia menepuk pundak Jungkook lalu pergi meninggalkannya.

***___***

Namjoon menghampiri tuan Jeon sambil menghidangkan teh hangat untuknya. Pria tua itu memijit-mijit keningnya sambil tertunduk. Ini pertama kalinya dia melihat Jungkook marah besar pada ayahnya – dia tidak tau saat di luar negeri – tapi sepertinya kali ini adalah yang terburuk.

Jungkook adalah anak yang patuh walaupun sedikit menyebalkan. Dia selalu mengikuti kemauan ayahnya bahkan saat dia di suruh pergi keluar negeri untuk menjadi petarung jalanan. Dia melakukan semuanya sesuai yang di perintahkan. Entah kenapa kali ini berbeda. Namjoon terkejut saat mendengar ia berteriak pada tuan Jeon. Tapi memang benar, semuanya sudah sedikit keterlaluan bagi Jungkook. Biar bagaimanapun dia bukan anak kecil lagi.

“Ahjussi.”panggil Namjoon menjatuhkan diri di kursi lain yang ada di sebrang meja yang merapat pada dinding. “Ahjussi tau jika gadis itu tidak bersalah. Itu bukan pilihannya untuk lahir dan tumbuh di lingkungan Hansan.”

“Kau tidak mengerti karena kau tidak merasakannya.”

“Aku tau. Tapi bukankah Taehyung juga memiliki ikatan masa lalu dengan tempat itu? Kenapa ahjussi bisa mempercayainya sedangkan Saeron tidak?” Tuan Jeon tidak menjawab membuat sesuatu terlintas di pikiran Namjoon. “Apa ini ada hubungannya dengan Jimin? Apa ahjussi dan Jimin sedang—”

“Aku melakukan apa yang harus aku lakukan.”potong tuan Jeon. “Aku harus melindungi apa yang harus aku lindungi.”

***___***

Senyuman di wajah Jimin menghilang ketika ia melihat sebuah mobil sedan bewarna hitam terparkir di depan rumah Seulgi. Ia menghela napas panjang sambil menaikkan rem tangan.

“Mobil siapa itu?”tanya Seulgi.

“Tunggu disini dan jangan keluar.”perintah Jimin lalu keluar dari mobil.

Tidak seperti biasanya, Seulgi mengabaikan perintah Jimin dan ikut keluar dari mobil. Pria itu menghela napas panjang. Semakin hari gadis itu semakin keras kepala. Seulgi berjalan di samping Jimin menghampiri mobil itu, bertemu sang pemilik yang juga keluar.

“Jin?”seru Seulgi terkejut.

“Bukankah kau bilang kau akan datang besok?” tanya Jimin sambil menarik Seulgi ke belakangnya.

“Aku baru saja menyelesaikan schedule di dekat sini dan ingin mampir.” Pria tinggi itu masuk ke dalam mobil untuk mengambil sesuatu lalu menarik tubuhnya keluar dan menunjukkan sebuah bungkusan plastik. “Aku membawakan cheese cake untukmu. Ini adalah cheese cake yang paling enak. Kau pasti menyukainya.”

“Terima kasih.”seru Seulgi. Jimin mengambil bungkusan plastik itu dan tetap berdiri tegak di hadapannya, menatap Jin yang sepertinya sedang mengharapkan sesuatu.

“Umh, sepertinya kalian baru saja pulang. Kalian darimana?”

“Oh, kami tadi pergi jalan-jalan.”jawab Seulgi antusias. “Tadi kami—”

“Maafkan aku, Jin-ssi. Tapi ini bukan waktunya untuk datang berkunjung.”seru Jimin cepat.

Jin melirik kearah arlojinya, “Kenapa? Ini masih jam 8.”

“Tapi nona Kang harus istirahat sekarang. Dokter bilang—”

Jin membaca nametag yang tertera di baju Jimin lalu berseru, “Busan-ssi, kau sedikit berlebihan.” Nadanya terdengar lembut tapi Jimin tau jika dia sedang menyindirnya. “Dia adalah wanita dewasa, dia sudah legal untuk rumahnya di kunjungi oleh seorang pria. Dan juga,” Wajahnya tersenyum. “Bukankah kau juga tinggal di tempat ini? Walaupun kau sedang bekerja, aku tidak akan tau jika kau sebenarnya memiliki niat lain, kan?”

Rahang Jimin mengeras, “Apa maksudmu?”

Jin memperkecil jarak di antara mereka dengan maju satu langkah ke depan. Kedua tangannya menyelip di saku celana, “Sama sepertimu yang mencurigaiku, aku juga tidak percaya denganmu. Tidak hanya kau yang ingin melindunginya, aku juga. Dan aku sudah mengutarakan niatku dengan jelas jika aku menyukai Nona Kang jadi sebaiknya kau menahan diri untuk tidak melewati batas.”

Di belakang Jimin, Seulgi terkejut.

Jimin juga melangkah maju ke depan, balas menatap Jin tajam, “Melewati batas atau tidak,” Ia mendesis. “Itu bukan urusanmu.”

“Kau sepertinya tidak mengenal takut.”

“Aku bertanggung jawab penuh tentang keselamatannya jadi kau harus mengikuti peraturanku. Aku tidak perduli siapa dirimu dan apa yang kau pikirkan tentangku. Tapi kau tidak bisa bersikap seenaknya walaupun kau mendapatkan ijin dari nyonya Cheon.”

Jin menyunggingkan senyum ketus, “Baiklah kalau begitu. Aku akan kembali besok.” Ia menatap Seulgi dari balik pundak Jimin. “Sampai jumpa besok nona Kang.”

***___***

Jimin meletakkan bungkus plastik berisi kotak cheese cake diatas meja sedikit bantingan. Ekspresinya terlihat kaku. Jin semakin membuatnya kesal. Dia tidak tau kenapa pria itu tiba-tiba berubah mengejar Seulgi begitu agresif.

“Ayo kita buka cake-nya. Ini pasti enak.” Seulgi duduk di kursi memandang bungkus plastik itu dengan mata berbinar-binar. Seperti tidak sabar melahap makanan itu.

Jimin mendengus, “Apa kau tau berapa banyak kalori yang terkandung dalam makanan itu?”ketusnya. “Kau akan jadi babi besok!”

Seulgi menghela napas panjang. Kembali berdiri sambil menatap Jimin, “Aku tidak mudah gemuk walaupun aku makan banyak makanan.”

“Tidak mudah gemuk? Hahaha.” Jimin tertawa kesal. “Lihat pipimu. Betismu dan lenganmu!”

“Ya!”

“Oh Tuhan, ada apa lagi ini?” bibi Yang datang menghampiri mereka berdua setelah kembali mendengar keributan. “Kalian bertengkar lagi?”

“Ahjumma, apa aku terlihat gendut?” Seulgi menghentakkan kedua kakinya, mengadu pada bibi Yang.

“Tidak. Nona Seulgi kami terlihat langsing dan sangat cantik.”

“Cih, jangan berbohong.”cibir Jimin.

“Tapi dia mengatakan jika aku sangat gendut. Dia bilang aku mirip babi.”

“Ya Park Jimin. Kau harus pergi ke dokter untuk memeriksakan matamu. Bagaimana mungkin kau bilang nona Kang gendut?”

“Karena dia memang gendut.”

“Aku tidak gendut!”

“Yah, kau sangat gendut!”

“Nona dia pasti sedang cemburu.”bisik bibi Yang dengan frekuensi suara yang mampu di dengar oleh Jimin. Sengaja.

Mata Jimin sontak terbelalak lebar, terkejut dengan ucapan bibi Yang barusan, “Apa?! Aku?! Cemburu?!”

“Oh, jadi kau cemburu.” Seulgi melipat kedua tangannya di depan dada. Ia menatap Jimin dengan senyum menyeringai.

“Waah, kalian pasti sudah gila.” Jimin berkacak pinggang, mencoba mengelak namun wajahnya terlihat jelas memerah. “Jangan asal bicara! Aku tidak mungkin cemburu!” Ia berseru kesal lalu berbalik meninggalkan ruangan. Namun baru dua langkah, ia menoleh kembali ke belakang, “Habiskan cake itu! Besok kau pasti benar-benar jadi babi!”

Bibi Yang dan Seulgi terkekeh bersama begitu pria itu pergi. “Ahjumma, Sukhwan akan datang hari ini, kan?”tanya Seulgi.

Bibi Yang mengangguk, “Sepertinya begitu, nona. Kenapa?”

“Berikan kue ini padanya.”

“Huh? Bukankah nona tidak sabar untuk memakannya? Saya pikir nona menyukainya.”

“Aku tidak mau jadi babi.” Seulgi langsung menggelengkan kepalanya, menjatuhkan dirinya di sofa dengan wajah yang berubah cemberut. “Ahjumma, apa pipiku sangat besar? Bagaimana lengan dan kakiku?”

Bibi Yang semakin tertawa geli, “Nona, dia hanya menggoda nona saja. Nona sangat cantik.” Ia menepuk-nepuk punggung tangan Seulgi. “Sudah saya bilang dia sedang cemburu.”

“Apa dia benar-benar cemburu?”

“Sepertinya dia sedikit terganggu dengan kehadiran tuan Jin. Jadi dia pasti cemburu.”

“Tapi kenapa dia harus cemburu? Jimin dan aku hanya…”

“Apa nona tidak mengerti juga?” Tawanya berubah menjadi senyum. Sambil menyelipkan rambut Seulgi di belakang telinga, ia berseru lembut, “Dia menunjukkan perasaannya dengan amarahnya.”

***___***

Irene terkejut saat ia membuka pintu rumahnya dan mendapati Taehyung duduk di anak-anak tangga teras. “Kau sedang apa?”tanyanya.

Taehyung menoleh ke belakang, berdiri dan mengambil keranjang tempat sampah yang di bawa Irene. Tanpa mengucapkan kata-kata apapun, ia berjalan menuju tempat pembuangan sampah. Tak lama ia kembali, Irene masih menunggu di depan rumah dengan ekspresi bingung.

Taehyung meletakkan keranjang sampah di sampingnya dan duduk kembali di tangga-tangga teras. Irene mengerjapkan matanya, tetap diam. Taehyung menarik tangan gadis itu, memaksanya duduk di sampingnya.

“Kau sedang apa?”tanya Irene lagi.

Taehyung masih tidak menjawab. Hanya memandang gadis itu dalam diam. Seperti sedang mencari-cari sesuatu di matanya. Kekuatan dan pengertian. Berharap kegelisahannya dapat menghilang.

“Aku tidak mau menyembunyikannya lagi. Aku sudah lelah.”lirihnya setelah beberapa saat hening.

Irene masih tidak mengerti maksud ucapan Taehyung saat pria itu sudah meletakkan kepalanya di pundaknya. Dia tertegun, Taehyung terlihat sangat lemah seakan baru saja melewati hal-hal sulit.

“Jika kau sudah siap, kau bisa memberitahuku kapanpun.”ucap Irene pelan sarat pengertian. “Tentang apapun itu.”

“Apapun itu?”tanya Taehyung. Ia memejamkan matanya, masih menyandarkan kepalanya di pundak Irene.

Irene mengangguk, “Apapun itu.” Gadis itu mendongak, menatap kearah langit kelam yang tidak di penuhi bintang. “Apa kau tau jika aku sangat menyukaimu?”

Taehyung terdiam selama beberapa detik sebelum menjawabnya, “Aku tau.”

“Lalu kenapa kau tidak mengatakan apapun?”

“Tidak ada yang bisa aku lakukan.”

“Apa karena kau masih belum bisa melupakan Saeron?”

“Eoh…”

Irene mendengus, “Tsk, kau benar-benar jujur. Hatiku sedikit sakit.”

“Apa kau akan menungguku?”tanya Taehyung melirih. “Bahkan saat aku telah mengatakan semuanya.”

“Kau pikir perasaanku hanya main-main?”balas Irene sedikit kesal. “Bahkan jika kau adalah manusia yang paling buruk di dunia, aku akan tetap menyukaimu.”

Sebuah senyuman tercipta di bibir Taehyung, “Terima kasih.”

Jimin muncul di pintu gerbang melihat keduanya. Membuat Irene terkejut dan salah tingkah sementara Taehyung yang masih terpejam tidak menyadari kehadiran Jimin disana. Jimin menggelengkan kepalanya saat Irene akan membangunkan Taehyung, mengisyaratkan gadis itu untuk membiarkannya tetap seperti itu.

Ada kelegaan yang di rasakan Jimin saat melihat Taehyung merasa nyaman. Ketika dia sudah menemukan tempat untuk bersandar. Jimin tersenyum samar, ingin melihat keduanya untuk beberapa detik lagi sebelum ia melanjutkan langkah menuju rumahnya.

Masih ada satu hal yang harus ia urus. Adiknya.

Tidak ada suara yang menyambutnya ketika ia masuk ke dalam. Dan tidak ada tanda-tanda telah terjadi aktivitas di rumah itu selama ia pergi tadi. Tempat pencucian piring kotor dan rak-rak piring terlihat rapi. Di atas kompor juga tidak ada apapun. Dia tidak keluar kamarnya sejak tadi sore.

Jimin membuka pintu kamar Saeron tanpa mengetuk terlebih dahulu. “Kau sudah makan?”tanyanya. Ia tau Saeron tidak tidur walaupun tubuhnya di balut dengan selimut tebal dan kepalanya tenggelam dalam bantal. Jimin duduk di tepi ranjang Saeron hati-hati, “Mau aku masakkan sesuatu?”

“Aku tidak lapar.”jawab Saeron, suaranya teredam.

Jimin mengambil bantal yang menutupi wajah Saeron dan membuka selimutnya, “Kau baik-baik saja?” Itu adalah pertanyaan bodoh. Mana mungkin dia baik-baik saja saat air matanya membasahi seprai dan pipinya.

“Aku baik-baik saja.”

Jimin menarik lengan Saeron agar gadis itu duduk, “Dia belum kembali?”

Gadis itu menggeleng pelan dengan senyum kecut.

Jimin memperbaiki rambut-rambut Saeron dan menyampirkannya ke belakang pundaknya, “Apa yang harus oppa lakukan agar kau merasa lebih baik?”

Saeron tersenyum, kembali menggelengkan kepalanya, “Aku baik-baik saja.”ucapnya. “Aku pasti membuat oppa sangat khawatir. Tapi ini hanyalah masalah kecil.”

“Tapi kau menangis.”

“Bukankah itu adalah hal yang wajar dalam suatu hubungan?”

“Sudah ku bilang aku tidak akan memaafkannya jika dia membuatmu menangis.”

“Dia mencintaiku, oppa.”balas Saeron. “Aku bukan menangis karena dia menyakitiku. Aku menangis karena aku tidak bisa melakukan apapun saat dia sedang berusaha keras. Aku sedikit menyesali hal itu.”

“Aku akan pergi ke rumahnya dan menjelaskan pada—”

Saeron tiba-tiba memeluk Jimin, membuat Jimin terdiam, “Jangan melakukan apapun, oppa.” Gadis itu kembali terisak di pundak Jimin. “Karena yang paling ku butuhkan sekarang adalah seperti ini.”

Jimin menghela napas panjang. Hanya menghusap-husap punggung Saeron lembut dengan keputus asaan.Dia tidak mengerti apa yang harus di lakukan saat adik perempuannya sedang sedih karena hubungannya dengan kekasihnya. Karena ini pertama kalinya.

Apa yang harus di lakukan oleh kakak laki-laki untuk membuat adiknya merasa lebih baik dalam situasi seperti ini?

Entahlah.

“Biarkan aku menghajarnya jika dia menyakitimu.”

Saeron mengangguk, “Aku tau.”

“Sekarang jangan menangis lagi. Aku tidak suka melihatmu menangis.”

***___***

Jungkook hanya melengos pergi ketika Hoseok menyapanya di pagi hari dan menawarinya sarapan bersama. Dia masih bersikap dingin dan tetap tak mau bicara dengan tuan Jeon walaupun semalam dia memutuskan mendengarkan ucapan Taehyung untuk pulang ke rumah.

“Namjoon, kau jaga dia.”perintah tuan Jeon.

“Baik, ahjussi.”

“Tidak usah. Aku yang akan menjaganya.” Taehyung menyahuti. Tanpa menunggu persetujuan, pria itu meraih jaketnya dan pergi menyusul Jungkook.

Hanya ada beberapa orang yang terlihat di halte bus karena hari masih sangat pagi. Matanya mencari-cari seseorang yang dia pikir saat ini sedang membutuhkan penjelasan namun ia tidak menemukan kehadirannya disana.

“Mungkin dia akan datang sebentar lagi.”suara seseorang yang terdengar di belakangnya mengagetkannya. Jungkook menoleh, mendapati Taehyung disana.

“Hyung…”

“Aku khawatir jadi aku mengikutimu.”

“Apa appa yang menyuruh hyung?”

“Yah. Tapi itu adalah alasan lain. Aku tidak berbohong tentang kekhawatiranku.”

Jungkook mengembalikan tatapannya ke depan, berdecak malas, “Aku baik-baik saja.”

Taehyung mengulurkan tangannya, menghusap-husap kepala Jungkook. Di balik ‘aku baik-baik saja’ yang dia ucapkan, sangat terlihat jika dia sedang gelisah. Berkali-kali ia melihat kearah sudut jalan, berharap gadis itu muncul dari sana. Tapi hingga 10 menit berlalu dan sebuah bus melewati halte itu, dia belum juga datang.

“30 menit sebelum kelasmu di mulai. Setidaknya masih ada waktu 15 menit untuk menunggunya.”

Jungkook menghela napas panjang sambil mengacak rambut sarang burungnya. Pagi itu, tiba-tiba saja dia tidak memperdulikan penampilannya. Yang ia pikirkan hanyalah segera pergi ke halte dan bertemu Saeron.

“Kau sudah mencoba menghubunginya?”tanya Taehyung lagi berusaha mencairkan suasana hati Jungkook.

“Pesan dan panggilanku tidak di jawab.” Hlelaan napas panjang kembali terdengar. Kali ini lebih frustasi dari sebelumnya. “Hyung, haruskah aku membolos?” Suaranya terdengar putus asa, pada akhirnya ia menyerah dan meminta pendapat Taehyung.

“Kau gila? Jika ayahmu tau, kau akan—”

Jungkook tiba-tiba berdiri, mengabaikan Taehyung. Berjalan menuju seorang gadis yang baru saja muncul. Suara langkah Jungkook membuat gadis itu mendongak.

“Kenapa kau tidak membalas pesan dan mengangkat panggilanku? Apa yang kau lakukan semalaman?”

Saeron menatap pria itu, menjawab pertanyaannya setelah beberapa saat diam, “Aku sudah tidur.”

“Jangan berbohong. Apa kau sedang menghindariku? Bukankah kau berjanji tidak akan meninggalkanku apapun yang terjadi?”

“Aku…” Saeron mengigit bibir bawahnya kelu.

“Tidak ada yang akan terjadi. Ayahku sedang memiliki banyak masalah jadi dia—”

Jimin tiba-tiba muncul di belakang Saeron, menarik adik perempuannya itu ke belakang tubuhnya. Ia berdiri di hadapan Jungkook dan menatapnya dengan tatapan tajam.

“Ini sudah yang kedua kalinya.”desisnya. “Dan aku sudah cukup bersabar terhadapmu sejauh ini.”

“Hyung, aku bisa menjelaskannya. Ini tidak seperti itu. Tolong berikan aku waktu untuk menyelesaikan masalah ini.”

Jimin mengulurkan tangannya, mencengkram kerah baju Jungkook kesal. Mengejutkan Saeron dan Taehyung yang menonton mereka berdua.

“Aku benar-benar akan menghajarmu jika kau menyakitinya lagi.”

“Jimin.” Taehyung berlari menghampiri mereka, melepaskan tangan Jimin dari kerah baju Jungkook. “Ini hanya salah paham.” Ia membantu menjelaskan. “Berikan mereka waktu untuk bicara.”

Tatapan tajam Jimin berpaling pada Taehyung, “Apa kau sedang membelanya karena kau sekarang tinggal bersamanya?”nadanya meninggi.

“Tidak. Tapi ini benar-benar salah paham. Tolong berikan mereka waktu untuk menyelesaikan masalah ini.”

“Perasaanku tidak pernah berubah sejak pertama kali aku melihatnya. Aku tidak mungkin menyakitinya, hyung. Tolong percaya padaku.”tambah Jungkook sambil menundukkan kepalanya, merasa menyesal.

“Aku jamin dia akan menyelesaikan kesalahpahaman ini. Jadi tolong berikan dia sedikit waktu.” Taehyung bicara dengan penuh keyakinan. Ia lalu menyenggol bahu Jungkook dan berbisik, “Busnya sudah datang. Cepat bawa dia.”

Jungkook melirik Taehyung ragu-ragu. Taehyung mengangguk, mengisyaratkan jika dia akan mengurus sisanya. Takut-takut, Jungkook meraih lengan Saeron yang berdiri di belakang Jimin. Membungkukkan tubuhnya sopan sebelum membawa gadis itu pergi.

“Aku akan menjaganya, hyung.”

Mereka berdua naik ke dalam bus meninggalkan kecanggungan di antara Jimin dan Taehyung. Wajah Jimin masih terlihat kesal sementara Taehyung berpikir keras bagaimana caranya untuk meredakan amarah itu.

“Bisakah kita duduk sebentar?”tanya Taehyung pelan. “Aku ingin bicara padamu.”

***___***

Halte sudah sepi begitu bus terakhir membawa seluruh orang-orang yang menunggu. Tidak pergi ke kedai cafe atau taman, Taehyung dan Jimin duduk di bangku besi bersisian. Sebuah mobil hitam terparkir di pinggir jalan tak jauh dari halte, mobil yang di kendarai oleh Jimin. Taehyung bisa menebak jika Jimin pasti bekerja di tempat yang bagus sekarang.

“Ayahnya adalah ahjussi Jeon.” Taehyung memulainya tanpa basa-basi. “Aku yakin ada kesalahpahaman yang terjadi. Aku akan berusaha menjelaskan padanya.”

“Dia menangis semalaman.” Ucapan Jimin langsung membuat Taehyung tertegun. “Aku sudah berusaha untuk menenangkannya tapi dia bilang jika dia baik-baik saja dan menangis sendirian di kamarnya.”

“Dia pasti sangat menyukai Jungkook.” Taehyung tersenyum tipis.

“Ini adalah saat yang tepat untuk berhenti. Aku tidak mau perasaanmu akan membuat Saeron semakin bingung.”

“Aku tau.”balas Taehyung, kedua matanya menerawang kearah pijakannya. “Aku akan melupakannya.”

Jimin mendengar nada sedih di balik ucapannya. Samar-samar melirik pria itu melewati sudut matanya. Dia memang telah banyak berubah. Perlahan-lahan memperlihatkan betapa rapuhnya dirinya sebenarnya.

“Aku juga sudah memutuskan untuk berhenti menyembunyikan semuanya. Aku sudah memberitahu Jungkook tentang siapa diriku yang sebenarnya.”

“Kenapa?”tanya Jimin terkejut, gagal menahan diri.

“Aku sudah menemukan tempat dimana aku tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain. Mereka tidak akan meninggalkanku walaupun aku sangat buruk. Mereka mempercayaiku. Dan mereka membuat rasa takutku menghilang. Aku sudah tidak takut lagi.” Taehyung mengangkat wajahnya, menatap kearah mobil-mobil yang berlalu-lalang di depan mereka. “Setelah ini, aku juga akan memberitahu satu orang lagi.”

“Irene?”

Pertanyaan itu berhasil membuat Taehyung menoleh, “Kau mengetahuinya.”

“Aku sering melihatmu bersamanya secara kebetulan.” Jimin mengelak. “Tapi kau tau jika melibatkan orang-orang itu ke dalam hidupmu akan membuat mereka berada dalam bahaya.”

“Aku tau.” Taehyung mengangguk. “Tapi aku akan melindungi mereka. Aku tidak akan lari.”

“Kau tidak akan bisa melindungi mereka semua seorang diri. Hansan terlalu banyak untuk kau hadapi sendirian.”

Ada kau…

“Aku tidak sendirian.” Taehyung menggeleng. “Ada banyak orang yang akan membantuku.”

***___***

“Busan?” Namjoon terkejut bukan main ketika ia melihat Jimin menerobos masuk ke dalam rumah mereka. Ia mengejar langkah pria itu masuk ke dalam rumah, mengurungkan niatnya yang akan pergi ke cafe. “Busan apa yang sedang kau lakukan?”

Jimin tidak menjawab. Ia menelusuri setiap sudut rumah itu dan berhasil menemukan tuan Jeon di halaman belakang. Mengabaikan sopan-santun yang seharusnya di lakukan seorang tamu, Jimin menghampirinya dan berdiri di hadapannya.

Tuan Jeon yang sedang membersihkan pedangnya, melirik melewati sudut matanya.

“Saeron tidak ada hubungannya dengan Hansan jadi kau tidak perlu takut.”

Tangan Tuan Jeon yang bergerak naik turun seketika berhenti. Ia menarik napas panjang sambil meletakkan kain lapnya dan menatap Jimin, “Tidak ada hal yang akan menjamin itu. Nyatanya, kalian adalah sepenggal bagian dari masa lalu Hansan.”

“Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri? Kau juga berbahaya.”

“Aku tidak mungkin membahayakan anakku sendiri karena aku adalah ayahnya.”

“Aku juga tidak akan membahayakan adikku.”

“Siapa yang tau?” Tuan Jeon menyeringai. “Karena dia bukan adikmu.”

Rahang Jimin mengeras, “Dia adalah adikku. Aku akan melakukan apapun untuk melindunginya.”

Senyum tuan Jeon semakin melebar, “Harusnya aku tidak meragukanmu.”ujarnya. “Kau bahkan rela kembal ike tempat itu demi dia.” Kedua mata Jimin sontak terbelalak. “Ku dengar saat ini kau sedang menjaga tuan putri,”

“Kau menyelidikiku?”desis Jimin.

“Jangan pernah mempercayai siapapun. Kau lupa ajaran itu?” Tuan Jeon meletakkan pedang yang ia pangku ke atas lantai di sebelahnya. “Kau adalah tentara terbaik di usiamu yang masih sangat muda. Kau telah memimpin banyak peperangan. Kau cepat dan pintar. Jadi aku tidak mungkin mempercayaimu begitu saja, kan? Bagaimana jika pada akhirnya kau akan membunuhku?”

Jimin mengepalkan tangannya di samping tubuh. Rahangnya mengatup semakin keras, berusaha menahan amarahnya yang meluap-luap. “Aku tidak akan membunuhmu.”

“Kenapa? Karena aku telah melindungi sahabatmu?”

Tuan Jeon berdiri, berjalan maju menghampiri Jimin. “Malam itu saat kau melarikan diri bersama Saeron, kau menghubungiku dan meminta bantuan. Kau tau ada satu orang lagi yang harus kau lindungi jadi kau memintaku untuk menyembunyikannya. Aku telah melakukannya. Aku juga tidak memberitahunya seperti permintaanmu. Aku membiarkan dia membencimu dan menganggapmu telah mengkhianatinya. Tapi kau tau jika aku melakukan itu karena kau mengetahui satu kelemahanku.”bisiknya tajam. “Lalu sekarang, hal apa lagi yang sudah kau ketahui tentangku? Aku akan melakukan apapun permintaanmu tapi kita harus imbang.”

Jimin menelan ludah susah payah. Sekali lagi, dia harus bertaruh. Tidak ada jalan lain. “Jika nanti terjadi sesuatu, pastikan kau harus melindungi Saeron. Sembunyikan dia seperti yang kau lakukan pada Taehyung. Karena dia sama sekali tidak terlibat.”

“Lalu apa bayaranmu?”

Jimin terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya berseru yakin, “Aku.”jawabnya tegas. “Aku akan mati dan membawa semua rahasia yang ku ketahui bersamaku.”

TBC

Tinggalkan komentar