LITTLE THING (CHAPTER 5)

 

Author                        : Tob @nadyamalifah

Genre                          : School life

Length                        : Multichapter

Rating                         : –

Main Cast                   : Kim Jong In

Oh Hayoung

Other Cast                  : You will find them

 

Sulli POV

 

Setelah bercakap-cakap cukup lama, aku pun berpamitan kepada keluarga Oh dan namja bermata bulat yang ternyata bernama Kyungsoo. Kyungsoo Oppa.

“Terima kasih untuk hari ini, Sulli-ya.” Kata Hayoung Eonni.

“Kembali kasih, Eonni. Annyeong.”

Aku dan Sehun Oppa pun pamit sambil membungkukkan badan.

 

Di perjalanan pulang aku terpikirkan sesuatu. Kutanyalah hal yang janggal di kepalaku kepada Sehun Oppa.

“Oppa, mungkinkah Hayoung Eonni berpur-pura amnesia?”

“Kenapa kau berfikir seperti itu?”

“Entahlah, tapi lupakan saja. Anggap aku tidak bertanya apa-apa”

“Kau ini…”

“Oppa, aku ingin segera pulang, eh tapi sepertinya sebuah es krim akan bagus sebelum kita pulang”. Kataku manja.

“Hm?” Jawabnya pura-pura tidak mendengarkan.

“Oppa, aku tau kau mendengarkan permintaanku.” Kataku sambil memukul pundaknya.

“Ini sudah malam chagi.” Kata Sehun Oppa sambil mengusap rambutku.

“Tapi oppa…”

“Aku akan membelikannya besok jika kau ingin. Bagaimana?”

“Jinjja?”

Lalu, Sehun Oppa menjawabnya dengan senyuman.

 

Jongin POV

Aku sudah merebahkan badanku dari 2 jam yang lalu dan mencoba untuk tidur. Tapi inilah yang terjadi. Aku tetap tidak bisa tidur. Pikiranku masih terpokuskan kepada Hayoung yang mengalami kecelakaan dan perihal dirinya yang mengalami amnesia. Ingin sekali aku menjenguknya lagi, namun ini sudah cukup malam. Kulirik jam dipinggir tempat tidurku. Pukul Sembilan malam. Lalu kualihkan pandanganku kepada seikat mawar merah yang tadi kubeli. Kuhampiri mawar tersebut dan menciumnya. Hm, wangi dan indah. Sepertimu..Hayoungie. Kulangkahkan kaki untuk mengambil jaket hitam dan pergi ke rumah sakit. Sulli sudah pulang, namun sepertinya dia belum tidur karena televise masih menyala. Namun ketika kulihat lagi ternyata bocah itu sudah tertidur pulas. Kumatikan televise dan menggendongnya menuju kamar. Setelah kubaringkan di tempat tidur, ku kecup keningnya dan mematikan lampunya. “jaljayo dongsaeng-a”.

Aku pun berangkat ke Seoul Hospital.

 

“Tolong, berikan mawar ini ke ruangan 365 tepat pukul 6 pagi dan jangan beritahu identitasnya. Cukup berikan saja. Gomawo”

Setelah menitipkan pesan kepada resepsionis aku pun langsung pulang ke rumah. Namun, entah mengapa aku ingin pergi menuju sungai Han. Aku pun melajukan motor dengan sungai Han sebagai tujuannya. Walau sebenarnya aku bisa berjalan kaki dari Seoul Hospital namun tetap saja aku ingin menggunakan motor.

 

Sesampainya disana aku langsung merebahkan diri layaknyaa tidur di tempat tidur. Kupandangi langit yang kosong tanpa bintang satu pun. Bahkan langit pun merasakan apa yang kurasakan–Kekosongan. Hatiku tidak benar-benar kosong, hatiku dipenuhi oleh Hayoung, namun terpenuhinya itu hanyalah kepenuhan yang semata. Penuh yang sepihak. Penuh namun masih terasa hampa. Kututup mataku perlahan sambil sesekali merasakan kesunyian yang sangat mendalam.

Sebelum tertidur aku dapat merasakan seseorang menyelimutiku dengan sesuatu. Aku ingin melihatnya namun mata ini sudah sangat rapat. Kuputuskan untuk tertidur.

Baby don’t cry tonight jogeumeun eoullijanha

Nunmulboda challanhi bitnaneun i sungan neoreul bonaeya haetdeon

So baby don’t cry cry nae sarangi gieokdoel teni

Terdengar ponselku berbunyi yang menandakan ada telpon masuk. Kucari ponsel sialan tersebut yang telah mengganggu tidur nyenyakku lalu mengangkat telpon dari seseorang tersebut.

“Yoboseyo..”

Namun hening, tidak ada jawaban. Lalu seseorang disebrang sana mematikan sambungannya secara sepihak.

Bodoh. Kulihat sekeliling. Gelap. Ah, ternyata aku benar-benar tertidur disini. Tapi, eh? Ini selimut biru milik siapa? Seingatku aku tidak membawa selimut. Kulipat selimut tersebut dan berniat membawanya kerumah. Tunggu. Kulihat jam yang melingkar di tangan kiriku. Ah, ini sudah pukul 3 dini hari. Aku tertidur cukup lama ternyata. Kulangkahkan kakiku menuju motor sport merah dan melaju pergi meninggalkan tempat ini.

 

“Oppa tadi malam pergi kemana? Ketika aku pergi ke toilet tengah malam aku tidak melihat oppa di kamar.” Tanya dongsaengku.

Yah, kami sedang sarapan pagi. Aku cukup terkejut dengan pertanyaan. Kukira dia tidak akan mengetahuinya—jika aku pergi keluar malam-malam dan baru pulang dini hari.

“Hm, benarkah?”. Jawabku acuh.

“Oppa…sungguh aku tidak melihatmu di kamar.”

“Mungkin kau terlalu mengantuk sehingga tidak melihatku.”

“Hm. Mungkin saja.”

Untung saja dongsaengku ini bisa mempercayainya—jika aku benar-benar ada di kamar. Padahal aku pulang pukul 3 dini hari.

“Oppa, aku sudah selesai makan. Simpan saja bekas makanmu di dekat wastafel, aku akan mencucinya pulang sekolah. Sehun Oppa sudah menjemputku. Dah.” Ucapnya cepat sambil mencium pipiku dan pergi.

“Tch, dasar dongsaeng sialan. Bilang saja kau menyuruhku agar aku yang membersihkannya.”

Sulli tahu-bahkan sangat-tahu-sekali jika aku tidak akan pernah membiarkan wastafel di dekati piring-piring kotor seperti ini. Aku pasti akan langsung membersihkannya.

 

Pulang sekolah, aku menyempatkan diri untuk pergi ke Seoul Hospital untuk melihat Hayoung. Aku datang dengan tangan kosong. Sesampainya disana aku memberi salam dan tersenyum. Kulihat ada Hayoung yang sedang duduk di tempat tidurnya dan Kyungsoo yang masih dengan seragamnya. Sepertinya ia baru pulang sekolah.

“Ah, kebetulan sekali Kau datang. Kau tidak sekolah?”

“Eh? Tentu saja sekolah. Aku baru saja pulang. Waeyo?”

“Sebenarnya aku belum makan siang, aku sedikit lapar dan berniat membeli makanan namun tidak ada yang menjaga Hayoung. Apakah Kau sudah makan siang?”

“Sudah.” Bohongku. Namun aku tadi sudah memakan permen. Bukankah itu dapat dikatakan makan?

“Kebetulan sekali. Bolehkah aku menitipkan Hayoung kepadamu?”

“Eh? Oppa, tidak perlu. Jika kau mau membeli makanan, belilah. Tidak perlu mencemaskanku.”

“Kyungsoo, pergilah membeli makanan biar aku yang menjaga Hayoung.”

“Eh? Sungguh tidak perlu hm..Jongin, itu akan merepotkanmu”

“Tidak apa-apa Hayoung-a.”

“Hm, baguslah. Kalau begitu aku akan membeli makanan dulu. Annyeong. Jaga Hayoung baik-baik, Jongin.”. pamit Kyungsoo.

 

Sepeninggalnya Kyungsoo terjadi keheningan yang cukup lama. Namun, sebuah suara memecahkan keheningan tersebut. Ya, suaraku.

“Hayoung-a…” Panggilku.

Yang ditanya menjawab. “Ne?”.

“Apa kau mau berjalan-jalan di sekitar sini?”. Tanyaku.

Hayoung terlihat menimang-nimang. “Hm. Tentu.”

Kulihat Hayoung turun dari ranjangnya. Dengan sigap aku langsung menghampirinya. “Memangnya kau sudah boleh berjalan?”. Tanyaku hati-hati.

“Tentu, tapi…”. Kata Hayoung menggantung. “Aku harus menggunakan kursi roda.” Sambungnya.

Ah, kau bodoh sekali Jongin. Tentu saja Hayoung harus menggunakan kursi roda. Bukankah dia masih sakit? Aku benar-benar bodoh. “Ah, tentu saja. Tunggu sebentar, aku akan membawa kursi rodanya.”. Akhirnya kudapatkan kursi roda tersebut dan membawanya kehadapan Hayoung. Setelah kulihat Hayoung merasa nyaman dengan kursi rodanya. Kulajukan kursi roda tersebut.

Kubawa Hayoung ke sekitar Seoul Hospital dan kami berakhir di sebuah taman yang sangat indah. “Jongin, bukankah taman ini sangat indah?”.

“Tentu saja. Tapi kau jauh lebih indah Hayong-a.” Jawabku.

Hening sesaat.

Lalu suara Hayoung memecahkan keheningan tersebut. “Jongin…”.

“Ne, hayoung-a?” Jawabku.

“Bagaimana sekolahmu? Apakah berjalan baik?”.

“Tentu saja baik.” Jawabku–Namun akan lebih baik jika ada kau disana.

“Oh, baguslah. Apakah aku berada di sekolah denganmu?”. Tanyanya.

“ne, bahkan kau berada di kelas yang sama denganku.”. Jawabku.

“Oh, benarkah?”. Tanyanya.

“Tentu saja.”. Jawabku.

“Hm, Jongin. Kata hm..Sulli rumah kita berdekatan. Benarkah?”

“Iya, memangnya kenapa?”

“Tidak apa-apa.” Jawabnya.

“Oh.” Kudorong kursi roda tersebut secara perlahan dan kembali mengelilingi taman.

“Jongin, aku ingin duduk di kursi itu.” Tunjuknya antusias kepada sebuah kursi panjang berwarna biru muda.

“eh?”

“Bolehkah? Tapi jika Kau enggan, kita tidak perlu kesana.”

“Tidak apa-apa. Aku akan membawamu kesana.”

Akhirnya kami pun duduk di kursi biru muda tersebut. Dia melihat keadaan di sekelilingnya, sedangkan aku hanya diam. Diam melihatnya. Melihat setiap gerak-geriknya. Aku sangat nyaman berada disini. Di dekatnya. Menemaninya. Aku masih mengamati setiap gerakannya sampai dia memanggilku.

“Jongin?”

“Hm? Ne?”

“Sepertinya aku sudah puas berjalan-jalan hari ini. Apakah sebaiknya kita kembali ke ruangan saja?”

“Hm, tentu.”

Akhirnya kami sampai di ruangan dan benar saja Kyungsoo sudah berada disana.

“Kemana saja kalian? Kupikir kalian tidak akan kembali.” Candanya.

“Yang benar saja, aku tidak mungkin menculiknya Kyungsoo.” Jawabku sambil tertawa.

Hayoung hanya tersenyum.

“Apa kau mau kembali ke ranjangmu?” Tanyaku kepada Hayoung.

“Hm..ya. Tapi aku bisa sendiri.” Jawabnya.

“Kau yakin?”

“Tentu saja.”

Benar saja, Hayoung berhasil kembali ke rangjangnya. Keadaannya mulai membaik.

“Sepertinya aku sudah tidak dibutuhkan lagi, sebaiknya aku pamit pulang. Annyeong.” Kataku sambil membungkukan badan.

Terlihat wajah Hayoung kebingungan.

“Eh? Kenapa? Kau bisa diam disini lebih lama.” Kata Kyungsoo bingung.

“Tidak apa-apa, sepertinya aku juga harus latihan menari.” Jawabku sambil pergi menuju pintu.

Hayoung tidak mengatakan apa-apa. Mungkin dia memang ingin aku cepat-cepat pergi. Kulangkahkan kaki menuju motor sport merahku di parkiran.

 

Sehun POV

Hari ini kami latihan menari lagi. Kami yang berarti Aku dan Jongin. Awalnya Sulli berniat untuk menemaniku latihan hari ini namun dia mempunya suatu hal yang mendadak yang harus dia kerjakan. Ini sudah lebih dari pukul 3 dan Jongin masih belum datang. Ini aneh sekali, dia jarang-bahkan tidak pernah telat untuk latihan. Menari adalah hidupnya.

“Annyeong Sehun”

“Annyeong.” Jawabku.

“Kau…mengapa terlambat?”. Tanyaku bingung.

“Hm?”.

Aku tahu Jongin mendengar pertanyaanku tapi sepertinya dia sedang berpikir untuk mencari alas an yang cukup bagus. Terlihat dari gerak-geriknya yang mulai sibuk padahal dia hanya perlu mengeluarkan sepatu dari tasnya dan aku tahu sepatunya tidak kecil dan sudah dia temukan dari tadi. Tapi aku akan mengikuti permainannya dan pura-pura tertipu.

“Mengapa kau terlambat?”. Ulangku.

“Oh, tadi ada sesuatu yang harus kukerjakan.”

Aku tahu dia benar-benar berbohong, tapi lebih baik aku percaya saja dan menunggu ia mencurahkan isi hatinya.

“Oh. Kau sudah siap? Ayo kita latihan.”

“Hm.”

 

Latihan belum sampai 2 jam tapi Jongin sudah beristirahat. Bukankah dulu dia yang akan terus berlatih walau keringat sudah bercucuran di seluruh tubuhnya? Aku tahu dia pasti mengalami sesuatu. Aku melihatnya-bahkan mengamatinya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Kenapa?”. Tanyanya risih karena aku memperhatikannya.

“Kau yang kenapa?”. Tanyaku.

“Eh? Me-memangnya aku kenapa?”. Tanyanya terbata. Sudah kukatakan kau berbohong Jongin.

“Aku tahu kau sedang mengalami sesuatu.”. Ucapku sambil berjalan duduk disampingnya.

“Hm.”

“Katakanlah, aku mungkin tidak akan terlalu banyak membantu tapi setidaknya beban di pundakmu akan sedikit berkurang.”. Ucapku.

“Aku menyukainya. Ani, aku mencintainya. Hayoung. Aku sangat mencintainya. Mengetahui dia lupa ingatan dan tidak mengingatku benar-benar membuatku sakit.”. Aku hanya mengangguk diam menunggu penuturan selanjutnya tentang Hayoung. “Aku sudah mencintainya sejak kami berawal menjalin sebuah persahabatan. Namun karena suatu hal aku harus pindah dari sini dan kembali ke Busan. Aku sangat sedih harus meninggalkannya. Lalu, sekarang setelah aku kembali bertemu dengannya dan berada di sekolah serta kelas yang sama sungguh membuatku senang. Walau pertemuan kami mungkin tidak terlalu menyenangkan baginya. Mungkin aku juga salah selalu menggodanya. Sepertinya dia juga membenciku…”. Kulihat Jongin mengatur napasnya. Sepertinya dia memerlukan kekuatan untuk bercerita lebih lanjut. Terkadang Lelaki juga dapat seperti ini. Bukan hanya wanita yang selalu menceritakan masalahnya kepada temang atau sahabat dekatnya. Terlihat Jongin membuka bibirnya hendak melanjutkan ceritanya. “Tapi aku tetap mencintainya. Namun entah mengapa menggapainya sekarang sungguh sulit. Kyungsoo seperti sudah menjadi sandarannya untuk saat ini. Bahkan keluarganya pun sudah mempercayai Hayoung kepada Kyungsoo.” Terlihat Jongin berdiam cukup lama. Mungkin dia sudah selesai bercerita.

Kupukul pelan pundaknya. “Aku mengerti apa yang kau rasakan, tapi bukankah hal bagus jika kau memulainya kembali dari awal? Apa salahnya? Mungkin saja dengan memulai dari awal lagi Kau akan semakin dekat dengan Hayoung.”. Jongin hanya menarik nafas mendengar ucapanku.

“Sepertinya aku akan pulang terlebih dahulu. Apa kau akan berdiam disini lebih lama?”. Tanyaku.

“Hm.” Ucapnya.

“Annyeong Jongin.”

“Annyeong. Hati-hati.”

Dasar, harusnya dia yang berhati-hati. Semoga saja Jongin mengetahui apa yang harus ia lakukan.

 

Sulli POV

“Annyeong Hayoung eonni.”

“Annyeong, eh…Sulli-a?”

“Hai eonni, aku bingung di rumah. Jadi kuputuskan untuk menjengukmu. Tidak apa-apa kan?”. Tanyaku hati-hati.

“Oh, tentu saja.” Jawabnya sambil tersenyum.

Sebenarnya aku tidak sedang bingung, aku memang sengaja menjenguknya. Aku ingin menyelesaikan perasaanku yang masih mengganjal jadi kuputuskan untuk menjenguk Hayoung eonni. Namun di ruangan ini tidak ada siapa-siapa kecuali aku dan Hayoung Eonni.

“Eonni, kenapa kau ditinggalkan sendiri? Kemana Kyungsoo oppa? Biasanya dia selalu berada disini.” Kataku.

“Kyungsoo oppa sedang berlatih vocal jadi aku ditinggalkan sendiri. Eomma dan Appa juga masih bekerja jadi aku ditinggalkan sendiri. Untung kau datang kemari jadi aku tidak terlalu merasa sendirian.” Katanya sambil tersenyum.

“Hm, eonni mau jalan-jalan sore di sekitar sungai han?”

“Eh? Boleh.”

Kulihat Hayoung eonni berjalan namun jalannya masih tidak terlalu baik, dia masih harus berpegangan ke benda di sekitarnya. Aku khawatir melihatnya.

“Eonni? Apa kau kuat berjalan? Sepertinya kau masih sedikit lemah.”

“Ah, aku baik-baik saja. Aku hanya perlu mengambil kursi roda saja.”

“Eonni, jika kau masih lemah kau bisa mengandalkanku untuk mengambil kursi roda itu.” Ucapku sambil mengambil kursi roda dan menyimpannya di hadapan Hayoung eonni.

“Ah, gomawo Sulli-a”

“Cheonma eonni. Kajja.” Kataku sambil mendorong pelan kursi roda yang diduduki Hayoung eonni.

 

Sekarang, disinilah kami di sekitar sungai Han. Entahlah mengapa aku ingin sekali berjalan-jalan di sungai Han. Lalu, suara Hayoung Eonni memecahkan kesunyian.

“Sulli-a..”

“Ne?”. Aku kaget karena tiba-tiba Hayoung eonni menyebut namaku.

“Aku dulu mempunyai seorang sahabat.” Aku hanya diam sambil mendorong pelan kursi roda menyusuri sungan Han karena aku yakin Hayoung eonni akan melanjutkan ceritanya.

“Namun dia pergi dan belum kembali. Dia menyuruhku untuk menunggunya. Aku dengan senang hati akan menunggunya namun dia masih belum memberikan tanda-tanda akan kembali.”

Sunyi, Hayoung eonni tidak melanjutkan kembali ceritanya. Dia menunduk, sedih. Sepertinya dia benar-benar sangat merindukan sahabatnya tersebut.

“Eonni… uljima…dia pasti akan kembali. Aku yakin, Eonni juga merasa yakin bukan?”.

“Hm, eonni yakin Sulli-a.” Jawabnya tersenyum. Aku tahu itu hanyalah senyum palsu tapi aku berharap dibalik senyum palsu terdapat hati yang benar-benar kuat.

Tidak terasa ternyata kami sudah cukup lama berbincang-bincang.

“Eonni, sepertinya sudah cukup sore. Sebaiknya kita kembali.”

“Ne.”

 

Akhirnya kami kembali ke ruangan. Masih belum terlihat batang hidung Kyungsoo oppa dan keluarganya yang lain. Baru saja aku selesai menuntun Hayoung eonni ke ranjangnya datanglah seseorang yang kuyakin itu Kyungsoo oppa. Dan benar saja, itu memang Kyungsoo oppa.

“Ann..Eh? Sulli? Annyeong”.

“Annyeong oppa.”Jawabku lalu berpaling ke Hayoung eonni. “Eonni, sepertinya aku harus pulang sekarang. Annyeong eonni, annyeong oppa.”

“Annyeong sulli, hati-hati, Terima kasih sudah berkunjung.”

Aku menjawabnya dengan senyuman. Lalu pergi untuk pulang ke rumah. Ini sudah hamper malam dan aku belum pulang serta belum juga mengabari Jongin oppa, sepertinya dia akan marah.

 

Jongin POV

Sehun benar, mungkin mendekatinya kembali dan bersahabat dengannya seperti awal bertemu akan membuat kami menjadi lebih dekat. Aku tidak menyangka sahabat seperti Sehun dapat diandalkan di saat-saat seperti ini. Padahal, biasanya dia selalu jahil dan mengejekku. Aku beruntung memiliki sahabat seperti Sehun. Gomawo Sehun-a.

Sekarang, disinilah aku di depan toko bunga dan kembali membeli setangkai bungan mawar merah. Aku akan meberikannya lagi kepada Hayoung melaui resepsionis seperti hari kemarin. Setelah beres aku pun langsung pergi ke Seoul Hospital.

Setelah semuanya beres aku pergi menuju ke rumah, entah mengapa aku sedang malas pergi ke sungai Han. Namun, tunggu itu seperti Hayoung dan seseorang namun seseorang itu tidak terlihat karena terhalangi oleh matahari yang akan terbenam. Aku ingin melihatnya namun, sepertinya aku harus pulang dan kembali menjenguk hayoung pulang sekolah.

Sesampainya di rumah aku tidak melihat Sulli, sepertinya dia masih berada di luar rumah. Mungkin sebentar lagi dia akan pulang. Sebaiknya aku menyiapkan makan malam. Namun sebelum aku menyiapkan makan malam aku pergi menuju kamar dan pergi melihat mawar merahku.

 

“Oppa! Aku pulang.” Suara Sulli. Sepertinya dia baru saja pulang.

“Darimana saja kau? Kukira kau tidak akan pulang.” Kataku.

“YA! OPPA!”.

“Haha, oppa hanya bercanda. Sebaiknya kau pergi membersihkan diri, setelah itu kita makan malam. Jangan terlalu lama, aku sudah cukup lapar.”

“Ne, oppa.” Katanya sambil pergi menuju kamarnya.

 

Setelah kami selesai makan malam aku langsung menyuruh Sulli untuk segera membersihkan piring kotornya.

“Sulli-a cepat pergi bersihkan piring-piring ini, sekarang giliranmu membersihkannya.” Terlihat jika Sulli enggan membersihkannya, pipinya mengembung dan bibirnya mengerucut. Sungguh lucu sekali tapi tetap saja dia harus membersihkannya.

“Ne, oppa.”

“Darimana saja kau? Mengapa tadi baru pulang?”.

“Tadi ku baru selesai menemani teman untuk membeli barang.”

“Oh.”

“Ne, oppa.”

“Jika kau sudah selesai membersihkan piring-piring kotor tersebut sebaiknya langsung pergi tidur dan jangan mengulangi menonton televise jika kau sudah mengantuk. Arra?”

“Oppa….hm. ne”. Jawabannya sangat lesu. Aku tahu jika dia ingin sekali menonton acara di televise mala mini namun kalian pasti tahu jika dia akan tertidur di tengah acara dan aku harus menggendongnya agar tidur di ranjang.

“Kau sudah besar dan berat badanmu bertambah, aku lelah harus menggendongmu terus.”

“YA!OPPA! BERAT BADANKU TIDAK BERTAMBAH.”

“YA! BISAKAH KAU PELANKAN SUARAMU. TIDAK PERLU TERIAK-TERIAK. AKU TIDAK TULI”

“OPPA PABO.”

“APA KAU BILANG?!”

“TIDAK, LUPAKAN SAJA. KAU TIDURLAH. JALJAYO OPPA. SARANGHAE”

“Kau ini…”

Dia benar-benar dongsaeng yang sangat menyebalkan tapi aku sedang tidak mau berdebat dengannya. Jadi, kuputuskan untuk pergi ke kamar dan tidur.

 

 

Hayoung POV

Mawar ini. Aku kembali mendapatkan mawar merah. Aku memang sangat menyukai mawar merah dan yang mengetahuinya hanyalah namja itu-Kai. Apakah mungkin dia berada di Seoul dan mengetahui jika aku sakit? Kai. Aku merindukanmu.

 

Jongin POV

Pulang sekolah aku kembali menjenguk Hayoung. Di ruangannya tidak ada siapa-siapa. Dia sedang memegang setangkai mawar merah. Dariku.

“Annyeong Hayoung.” Sapaku

“Annyeong, Jongin. Eh? Kau datang lagi.” Aku menjawabnya dengan senyuman.

“Mengapa disini hanya ada kau?”. Tanyaku

“Mereka sedang berada diluar, mungkin akan kembali nanti sore atau malam.”

“Hm, apa kau sudah memakan obat-obat itu?”. Tunjukku kepada obat-obat disamping ranjangnya.

“Tentu saja, aku ingin sembuh.”

“Ah, benar saja. Bagaimana jika kita kembali mengelilingi taman?”

 

Disinilah kami sekarang, di taman dan kembali duduk di kursi biru. Aku kembali memperhatikan gerak-gerik Hayoung. Semua berjalan baik sampai Hayoung mengeluarkan selembar foto. Foto yang sangat kuketahui. Foto kami. Berdua.

“Jongin, lihatlah. Ini aku dan sahabatku. Namanya Kai, namun sekarang dia sedang pergi ke Busan dan entah kapan dia akan kembali.”

Aku terkejut mendengarnya. Dia menunjukannya dengan suara yang terkesan ceria namun wajahnya tidak, wajanya menapilkan kesedihan. Aku merasa bersalah.

“Dia adalah sahabat pertamaku. Aku susah sekali mendapatkan sahabat karena sifatku yang acuh terhadap orang lain. Sampai dia datang dan mau saja bermain denganku yang awalnya acuh terhadapnya. Dia tidak menyerah. Bahkan dia terus mengajakku bermain sampai aku benar-benar selalu ingin bermain dengannya. Aku tidak ingin lepas darinya. Aku sangat menyayanginya, walaupun sekarang dia entah ada dimana.” Dia berada bersamamu Hayoung-a. Dia berada disampingmu. Dia sudah kembali.“Kulitnya gelap sepertimu.” Karena itu memang aku.“Ah, sekarang dia berada dimana ya Jongin? Mungkinkah dia kembali?”

“Tentu.” Bahkan dia sudah kembali Hayoung-a.

“Jongin, apa kau lapar? Aku sedikit lapar.”

“Eh? Kau mau makan, apa kita harus kembali ke ruangan?”

“Tidak, tidak. Aku tidak ingin makanan yang diberi oleh rumah sakit. Rasanya kurang lezat. Aku ingin membeli ubi bakar. Bagaimana?”

“Eh? Baiklah. Tunggu sebentar.”

“Kajima, aku ingin ikut bersamamu.”

“hm? Mengendarai motor?”

Hayoung mengangguk. “Aku memerlukan udara segar. Ayolah Jongin…”

“Ah, kau ini. Baiklah. Kajja”

Akhirnya kami membeli ubi bakar. Dia sangat senang sekali. Aku memperhatikannya. Entahlah, memperhatikannya sangat menyenangkan. Aku tidak menyangka ternyata nafsu makannya besar sekali. Dia seperti seseorang yang sudah tidak makan beberapa hari.

“Ah….Jongin. Ubi ini merupakan ubi terlezat yang pernah kumakan.”

“Kau yakin?”. Aku tidak percaya dengan kata-katanya. Mungkin dia hanya kelaparan saja.

“Hm, tentu!”. Jawabnya pasti.

“Kurasa kau hanya kelaparan saja”. Ucapku sambil disela kekehan pelan.

“Aniyo.”

“Benarkah?”

Hayoung terlihat berfikir. “Ah, sepertinya aku memang kelaparan.” Katanya.

“Eh? Jongin, aku tidak membawa uang. Bagaimana ini?”. Ucapnya lagi.

“Kau ini…tidak apa-apa biarkan aku yang membayarnya. Anggap saja ini hadiah. Haha.”

“Eh? Gomawo Jongin.” Ucapnya tulus.

 

Setelah selesai menyantap ubi bakar, kami langsung kembali ke Seoul Hospital. Aku langsung mengantarkannya kembali ke ruangannya. Disana sudah ada Kyungsoo.

“Sepertinya aku harus pulang sekarang. Gomawo Hayoung-a. Annyeong”

“Aku yang harusnya berterima kasih karena kau telah berkunjung kesini Jongin. Gomawo Jongin”

Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan kepada Kyungsoo. Akulah yang harusnya berterima kasih karena hati ini sudah kembali terisi Hayoung-a.

 

Dua bulan berlalu telah berlalu aku masih selalu mengunjungi Hayoung di rumah sakit dan mengiriminya setangkai mawar merah tanpa nama. Hari ini adalah tepat dua bulan setelah Hayoung mengalami kecelakaan. Kali ini aku membawa mawar yang kutanam sendiri, aku ingin memberikannya kepada Hayoung.

“Annyeong Hayoung-a” Kataku sambil memberikan mawar merah.

“Annyeong, Jongin. Kau datang, aku benar-benar menunggumu. Ini? Mawar merah? Untukku?”

“Benarkah? Ya. Tentu saja, untukmu.”

“Tentu saja, kau berjanji akan membelikanku es krim. Aneh sekali sudah dua bulan ini aku menerima banyak mawar merah.” Katanya sambil mengembungkan kedua pipinya.

“Ah, benarkah? Aku lupa. Bukankah bagus kau mendapatkan banyak mawar merah? ”

“Ya… Jongin… Aku memang senang.” Jawabnya tersenyum sambil sedikit marah karena aku pura-pura lupa tentang es krim.

“Ne, ne. Sebaiknya kita pergi sekarang Karen cuaca diluar cukup gelap. Sepertinya akan turun hujan. Eh hujan? Sebaiknya kita mengurungkan niat untuk membeli es krim Hayoung-a.”

“Tapi kau sudah berjanji.”

“Argh, kau ini… Kajja”. Aku hanya takut Hayoung sakit. Tapi aku juga sudah berjanji. Semoga kesehatannya akan baik-baik saja.

Kesehatan Hayoung sekarang sudah cukup membaik. Aku menyuruhnya mengenakan jaket. Dia menurut.

 

Di perjalanan aku menyuruhnya untuk memelukku karena takut dia kedinginan. Awalnya dia enggan untuk memelukku namun akhirnya dia mau memelukku. Hatiku senang, bahkan sangat senang. Hati ini mulai terisi penuh kembali. Kehampaan mulai menghilang.

 

Disinilah kami sekarang, di kedai es krim. Aku memesan dua buah es krim strawberry karena Hayoung sangat ingin memakan es krim strawberry. Kami memilih duduk di luar kedai karena lagi-lagi ini akibat keinginan Hayoung. Aku pun mendapatkan 2 buah es krim strawberry.

“Ini hayoung-a”

“Gomawo, Jongin”

Kami mulai memakan es krim. Namun aneh, suasana sekarang sangat hening. Padahal biasanya Hayoung akan memulai percakapan dan mulai bercerita tentang masa lalunya. Tapi sekarng berbeda, Hayoung seperti memikirkan sesuatu sambil memakan es krimnya. Aku belum menyentuh es krimku karena terlalu sibuk memperhatikan Hayoung. Hayoung masih memegang mawar pemberianku. Dia memakan es krim sambil memegang mawar merah tersebut.

“Hayoung-a… Apa kau sangat menyukai mawar tersebut?”

“Tentu saja, aku sangat menyukainya.” Jawabnya tersenyum.

“Aku menanamnya sendiri.”

“Eh, benarkah?”

“Tentu saja. Aku menanamnya dan akan memberikannya kepada orang yang kucintai. Kau tidak percaya?”

“Bukan begitu, hanya saja…”

“Kenapa?”

“Aku mau jujur kepadamu.”

“Tentang apa?”

“Sebenarnya aku tidak amnesia. Aku mengingatmu Jongin-a. Mianhae.” Aku terkejut, bahkan sangat terkejut. Sendok es krim yang sedang kupegang langsung jatuh.

“Me-me-mengapa kau berbohong?”. Kataku terbata-bata.

“Ka-ka…aku tidak bisa mengatakannya.” Jawabnya murung.

“Kkkk-kau. MENGAPA KAU MENIPUKUKU? APA SALAHKU?”

Rahangku mengeras. Entahlah aku harusnya tidak marah seperti ini. Harusnya aku senang karena dia tidak amnesia tapi hatiku sakit. Sakit karena dia telah menipuku. Dia telah membohongiku. Aku merasa bodoh. Hatiku yang sudah terisi penuh kini hancur. Sangat hancur.

“Mmm-maafkan aku Jongin-a”. Katanya bergetar.

Aku langsung pergi meninggalkannya. Hujan turun. Aku hanya berdiri. Merasakan air hujan yang datang menyerangku. Hatiku sakit. Dia, orang yang kusayang menyakitiku. Angin berhembus kencang. Dingin. Seperti hati ini. Kembali dingin. Namun tiba-tiba kurasakan ada tangan melingkar di pinggangku. Seseorang memelukku. Hayoung.

“Jongin-a, mianhe.” Katanya. Dia menangis. Aku tak menjawabnya. Aku hanya diam. “Jongin-a mianhe.”. Ulangnya lagi. Dia semakin mengeratkan pelukannya.“Jongin, kajima. Jangan meninggalkanku lagi. Aku tidak ingin kau pergi lagi. Sudah cukup kau meninggalkanku dan tak memberikanku kabar. Bahkan kau tidak memberitahuku jika kau sudah kembali. Mengapa? Aku tahu kau adalah Kai. Kau kai. Kau sahabat kecilku. Kumohon jangan pergi lagi. Aku membutuhkanmu. Kajima…”. Aku terkejut mendengar penuturannya. Di-dia sudah mengetahui aku kembali.

“Ba-bagaimana kau tahu aku adalah Kai?”

“Kyungsoo oppa yang menceritakannya. Awalnya aku tidak terlalu percaya namun ternyata kau benar-benar Kai. Aku merasakannya ketika kau selalu menjengukku di rumah sakit.”

Flashback on

Author POV

“Oppa sebenarnya…”

“Sebenarnya apa Hayoung-a?”

“Sebenarnya aku tidak mengalami amnesia.”

“Mengapa kau berpura-pura?”

“A-aku. Aku takut terhadap Jongin. Dia selalu mengikutiku. Aku takut kepadanya.”

“Jongin? Maksudmu Kai?”

“Apa? Kai?”

“Dia Kai, Hayoung-a. Namja yang kau tunggu.”

“Oppa jangan bergurau. Kumohon.”

“Aku berkata jujur.”

“Oppa..”

“Aku serius Hayoung-a.”

Hayoung terlihat terkejut namun disisi lain dia sangat senang. Tapi dia sudah terlanjur mengalami amnesia. Maka dia pun melanjutkan kepura-puraannya untuk mengetahui apakah Jongin adalah Kai-namja yang sangat ia tunggu atau bukan.

Author POV end

Flashback off

 

Jongin POV

 

“Ternyata kau memang benar-benar Kai. Kajima. Jangan tinggalkanku lagi. Aku lah yang memakaikan selimut dibadanmu ketika di Sungai Han. Aku juga yang menelponmu dini hari agar kau tidak kesiangan pergi ke sekolah. Mianhae.”. Katanya sambil menangis. Aku namja jahat yang membiarkan seorang yeoja menangis. Aku benar-benar merasa bersalah. Kubalikkan badanku sehingga berhadapan dengannya. Kulihat wajahnya dan mengahpus sisa-sisa air matanya. “Uljima Hayoung-a. Aku tidak akan meninggalkanmu.”. Kupegang kedua pipinya. Kudekatkan wajahku ke wajahnya. Dia menutup mata. Bibir kami mulai berdekatan dan akhirnya saling bersentuhan. Kunikmati detik demi detik tersebut sampai akhirnya kami melepaskan bibir kami yang saling bertautan dalam beberapa detik. Ciuman dalam hujan. Kuusap pipinya dan menghapus air mata yang masih mengenang di pipinya. “Kajima Jongin-a”. Katanya. Aku tersenyum dan memeluknya. Kubisikan kata-kata. “Sudah kukatakan aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Saranghae Hayoungie.” “Nado, jongin. Nado saranghe.” Ucapnya. Kami masih berpelukan. Kupejamkan mataku dan merasakan pelukan Hayoung.

 

“Ehem, sepertinya sudah cukup pertunjukannya.” Tunggu suara itu…suara Kyungsoo.

“Oppa… Kau membuatku iri.”. Itu suara Sulli.

“Apa kau ingin kupeluk dan kucium juga chagi?”. Itu suara Sehun.

Tunggu, kenapa mereka berada disini. Kubuka kedua mataku sambil melepaskan pelukan walau sebenarnya aku enggan melepaskannya. Kulihat mereka bertiga berada di kedai es krim. Untung saja, pengunjung yang lain berada di dalam kedai.

“Kkk-kalian?”. Ucapku dan Hayoung bersamaan.

“Ya, kami melihat semuanya dan kami sudah tahu semuanya.” Kata Sehun datar.

“Mwoya?!”. Kataku. Hayoung terlihat sedikit malu. Ah, disini masih hujan aku langsung melingkarkan tangan kananku kepundaknya dan membawa dia ke kedai es krim.

“Ya, kami sudah mengetahui semuanya. Chukkae Jongin Oppa dan Hayoung eonni.” Kata Sulli sambil sedikit tertawa.

“Kalian…” Kataku.

“Sepertinya kalian yang harus mengganti pakaian. Pakaian kalian basah.”

“Ne.” Jawabku dan Hayoung kembali bersamaan.

 

 

Author POV

Di perpustakaan terlihat seorang yeoja kucir kuda yang sedang tertidur sambil memegang perutnya.

“Lapar sekali.”

Lalu tak lama kemudian datang seorang namja berparas tinggi, berkulit gelap menghapiri yeoja berkucir kuda sambil membawa makanan.

“Sudah kukatakan agar kau membawa bekal makanan. Jadinya kau kelaparan seperti ini.” Ucap namja berkulit gelap.

“Diamlah Jongin, aku tidak ingin berdebat. Jika kau tidak ingin membagi makananmu enyahlah disini dan berhenti menggodaku.”

“Chagiya kau tidak boleh marah…Kau ingin kusuapikan? Buka mulutmu aaa…”

“Jongin aku bukan anak kecil lagi.”

“Diamlah dan buka mulutmu.”

Hayoung membuka mulutnya karena mau tak mau dia benar-benar merasakan kelaparan. Hayoung mengunyah makanan yang ternyata daging ayam.

“Aaa..lezat sekali. Gomawo chagiya.” Ucap Hayoung malu-malu.

“Mungkin kau kelaparan, ini masih daging ayam yang biasa kubawa.”

“Ah benarkah? Sepertinya aku memang kelaparan.”

“Kau memang selalu seperti ini.” Ucap namja berkulit gelap yang bernama Jongin sambil mencubit sebelah pipi yeojachingunya-Hayoung.

“Saranghae, Kai.”

“Nado, saranghae chagiya.”

 

 

 

Gimana ffnya? Aneh yah? Hehe, mian. Aku masih dalam tahap belajar. Tapi semoga kalian suka. Mian juga typo bertebaran dimana-mana. Jeongmal mianhae>< Awalnya aku ingin membuat ff ini sad ending tapi gak tega jadi akhirnya berakhirlah seperti ini. Aku berharap banget komentar-komentar kalian baik yang berupa kritik maupun saran. Aku sangat menerimanya. Terimakasih buat semua readers yang telah rela menyempatkan waktunya untuk membaca ff ini wkwk aku juga berbicara padamu hai sider^^ Terima kasih juga untuk semua yang telah membantuku dalam pembuatan ff ini. Gomawo semua, love you all<3

3 respons untuk ‘LITTLE THING (CHAPTER 5)

Tinggalkan komentar