The Demians part 24

demian n

Tittle : The Demians

Author : Ohmija

Cast : BTS and Seulgi Red Velvet, Irene Red Velvet, Kim Saeron and DIA Chaeyeon

Genre : Action, Romance, Comedy, Friendship

Saeron dan Jungkook hanya bisa terpaku melihat senyuman penuh kepedihan itu. Seperti maling yang tertangkap basah, keduanya benar-benar merasa bersalah pada Taehyung. Terutama Jungkook yang merasa jika dia telah menusuk Taehyung dari belakang.

“Hyung, aku…” Jungkook mencoba menjelaskan pada Taehyung namun Saeron menahan lengannya. Anak laki-laki itu menoleh ke belakang, menatap Saeron bingung.

“Bisakah kau tinggalkan kami berdua?”tanyanya. “Aku ingin bicara dengan Taehyung oppa.”

“Tapi…” Jungkook ingin membantah. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana Saeron meninggalkannya dulu di tempat ini. Dia takut kejadian itu akan terulang lagi.

Saeron tersenyum, “Tunggu aku di rumah. Aku akan segera pulang.” ia meyakinkan Jungkook.

Jungkook hanya diam sambil menatap kedua mata Saeron selama beberapa saat. Dia tidak boleh egois karena biar bagaimanapun, Taehyung adalah orang yang paling tersakiti saat ini. Dia harus memberi mereka ruang untuk bicara.

“Kau percaya padaku, kan?”tanya Saeron.

Jungkook mengangguk, “Aku akan menunggumu di rumah.”

Anak laki-laki itu lalu meninggalkan mereka berdua. Di anak-anak tangga jembatan itu, angin berhembus cukup kencang. Keduanya duduk di sana bersampingan. Taehyung terus menatap kearah sungai yang mengalir di bawah mereka dengan pandangan kosong.

“Oppa…”seru Saeron akhirnya setelah beberapa saat tak ada suara.

Taehyung hanya diam dan tidak menoleh sama sekali.

“Oppa… aku sudah menemukan seseorang.”serunya lagi. “Awalnya aku memang tidak yakin dengan perasaanku. Tapi sekarang aku tau apa kemauan hatiku. Aku menyukainya oppa.”

Taehyung mengangguk, “Aku tau.”serunya pelan, tetap tidak menoleh.

“Oppa, maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakiti oppa. Dia juga tidak bermaksud melakukannya. Tapi aku—”

“Aku tau Jungkook tidak akan pernah menyakitiku. Kau tidak perlu menjelaskannya.”

Saeron menelan ludah. Taehyung perlahan menoleh kearah Saeron. Matanya terlihat teduh namun ia memaksakan dirinya untuk tersenyum.

“Ini salahku.”ucapnya. “Aku tau kau tidak pernah memiliki perasaan apapun padaku tapi aku terus memaksamu. Aku terus menipu diriku sendiri jika perhatian yang selama ini kau berikan adalah bentuk rasa cintamu padaku. Aku percaya jika kau juga memiliki perasaan yang sama. Padahal kasih sayang itu hanyalah kasih sayang seorang adik pada kakak laki-lakinya. Tidak lebih. Ini salahku karena aku berharap begitu banyak padamu.”

“Oppa…”

“Yang penting adalah kebahagiaanmu.”potong Taehyung cepat. “Jungkook adalah adik laki-lakiku dan aku tau dia adalah anak yang baik. Aku lega karena kau mencintainya. Dia pasti akan menjagamu dengan baik.”

“Tapi oppa juga harus bahagia.”

“Kebahagiaanku adalah bahagiamu. Aku akan baik-baik saja selama kau juga baik-baik saja.”

“Oppa, maafkan aku.”seru Saeron lagi benar-benar menyesal.

“Kau tidak perlu minta maaf.” Taehyung menggeleng. “Rasanya memang sedikit sakit tapi pada akhirnya aku tau ini adalah batas dimana aku harus melupakan perasaanku padamu. Sekarang hatiku tau jika aku harus menyerah sekarang.”

***___***

Taehyung mengantar Saeron hingga ke depan gerbang rumah sewa. Memastikan adik perempuannya itu telah pulang ke rumah dengan selamat sebelum kembali ke rumah tuan Jeon.

“Apa Busan belum kembali?”

Saeron menggeleng, “Sepertinya belum. Dia masih bekerja.”

“Tapi ada Jungkook, kan?”

“Iya. Dia ada di rumahnya.”

“Syukurlah. Kalau begitu aku—”

“Hyung.” Tiba-tiba sebuah suara terdengar. Taehyung dan Saeron menoleh ke kanan bersamaan dan mendapati Jungkook sedang berlari kearah mereka. “Aku menunggumu di depan rumah sejak tadi.”

“Aku harus mengantarnya pulang dulu.”

“Hyung.” Jungkook langsung memeluk Taehyung membuat pria itu terkejut. “Maafkan aku, hyung. Aku sungguh-sungguh minta maaf. Jika kau mau memukulku, kau boleh memukulku. Asalkan kau mau memaafkanku.”

“Kenapa aku harus memukulmu?”

Jungkook melepaskan pelukannya dan menundukkan kepalanya dalam-dalam, “Karena aku sudah menyakitimu.”

“Kita sudah sepakat untuk bersaing secara adil. Kau tidak melakukan apapun yang menyakitiku. Aku juga tidak marah padamu.”

Jungkook tertegun, “Hyung tidak berbohong, kan?”

Taehyung mengangguk, “Iya. Aku adalah pria sejati.”

Perlahan, sebuah senyuman tercipta di bibir Jungkook, “Hyung, aku berjanji aku tidak akan menyakitinya. Aku akan menjaganya dengan baik.”

“Jika kau menyakitinya, aku pasti akan menghajarmu.”seru Taehyung lalu balas tersenyum. Ia mengalihkan pandangannya pada Saeron, “Kau juga. Jika kau menyakitinya, aku akan membuat perhitungan denganmu.”

Saeron tertawa, “Aku tau.”

“Baiklah. Kalau begitu kalian masuk ke dalam rumah sekarang. Aku juga akan pulang.”

“Sampai jumpa oppa.” Saeron melambaikan tangannya sambil berjalan masuk.

Jungkook mengikutinya di belakang namun baru beberapa langkah, anak laki-laki itu kembali menghampiri Taehyung. “Hyung, kau benar-benar tidak marah, kan?”

“Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir.”

“Hyung, aku…”

“Berhenti merasa bersalah. Aku benar-benar baik-baik saja.”

“Hyung, maafkan aku.”

Taehyung mendesah panjang, “Kenapa kau terus minta maaf? Kau membuatku merasa frustasi.”

“Karena aku ingin meyakinkan hyung jika aku tidak berniat untuk menyakiti hyung.”

“Iya. Aku tau. Aku percaya padamu. Sekarang cepat masuk ke dalam.” Taehyung mendorong tubuh Jungkook, memaksa anak itu segera pergi.

“Hyung, kau tau aku sangat menyayangi hyung, kan?” Namun Jungkook masih bicara sambil berjalan mundur.

“Ya! Kau menjijikan. Jangan bicara hal-hal seperti itu.”

“Hyung, aku mencintaimu.” Jungkook membentuk hati di atas kepalanya.

Taehyung mendengus kesal, “Aku akan membunuhmu besok, Jeon Jungkook. Hentikan!”

Jungkook tertawa geli lalu berbalik dan berlari menaiki anak-anak tangga.

Jungkook menghilang dari pandangan Taehyung bersamaan dengan senyuman yang juga menghilang dari wajahnya. Pria itu menelan ludah pahit. Masih bisa di rasakannya bagaimana sakitnya hatinya sekarang. Rasanya sesak. Sulit bernapas.

Ini adalah titik dimana dia harus melepaskan. Sebenarnya dia sudah tau hal ini akan terjadi. Tapi dia tetap tidak menyiapkan persiapan apapun. Dia terlau sibuk meyakinkan dirinya jika Saeron juga memiliki perasaan yang sama hingga mengabaikan kenyataan yang sebenarnya. Dia tau Saeron tidak pernah memiliki perasaan apapun padanya tapi dia tenggelam dalam harapan.

***___***

Pria itu tenggelam dalam pikirannya, duduk seorang diri di sebuah ayunan taman itu. Dia tidak menyadari jika ada seseorang yang terus memperhatikannya sejak tadi. Sejak dia menunjukkan senyum palsunya di depan gerbang hingga sekarang, saat ia tidak bisa lagi menyembunyikan kesedihannya.

Gadis itu melangkah pelan, menghampiri pria itu. Ia mengulurkan sebuah botol di depannya membuat pria itu mendongak.

“Aku kebetulan lewat dan melihatmu disini.”seru gadis yang ternyata Irene itu dengan nada cuek lalu duduk di ayunan yang lain. Ia membuka tutup botol dan meneguk minumannya.

Taehyung masih terlihat bingung. Karena kehadiran Irene yang tiba-tiba dan botol tanpa nama merk yang ada di tangannya. “Ini apa?”

“Soju.”jawab Irene santai, kembali meneguk isi botol itu.

Mata Taehyung sontak terbelalak, “Apa?”

“Kenapa kau terkejut? Kau sudah legal, kan?”

“Apa kau gila minum soju di tempat seperti ini?”

“Kenapa? Siapa yang akan menangkapku? Aku bisa minum soju dimana saja sesuka hatiku.”

“Kau benar-benar…” Taehyung hanya geleng-geleng kepala dengan tingkah Irene itu. Ia lalu membuka penutup botol dan meminumnya juga. “Apa kau pergi keluar untuk membeli soju?”

Irene mengangguk, “Aku ingin merasakan minum soju di Korea untuk terakhir kalinya.”

Taehyung kembali geleng-geleng kepala, “Kau benar-benar gila.”

Irene tertawa kecil. Beberapa detik kemudian tawanya menghilang dan wajahnya berubah serius, “Aku ingin minta maaf padamu soal tadi siang. Aku rasa aku sudah terlalu berlebihan padamu.”

“Yah, kau memang sedikit berlebihan.”balas Taehyung dengan tawa.

“Karena itu aku ingin minta maaf padamu.”

Taehyung menghela napas panjang lalu menoleh menatap Irene, “Bagaimana ini? Aku akan kesepian jika kau pergi.”

“Huh?” Irene balas menatap Taehyung bingung.

“Walaupun menyebalkan. Tapi kau selalu ada saat aku butuh seseorang. Kau selalu tau saat aku merasa kesulitan.”

“Kenapa? Apa sekarang kau sedang punya masalah?” Irene bersikap seolah-olah dia tidak mengetahuinya.

Taehyung mengangkat kedua bahunya, “Entahlah.”jawabnya. “Saat ini aku hanya sedang bimbang.”

“Belajarlah untuk menunjukkan ekspresimu. Kau tidak sendirian. Kau punya Namjoon, Yoongi dan Hoseok. Saat kau sedih, berbagilah dengan mereka.”

“Kenapa kau tidak menyebut nama Jungkook?” Pertanyaan Taehyung barusan sontak membuat Irene terkejut.

“Oh, aku… yah, maksudku, bersama Jungkook juga.”jelasnya tergagap.

Taehyung tersenyum, “Kau mengetahuinya, kan?”

“Huh? Tentang apa? Hahaha… aku tidak mengetahui apapun.”

“Dan soju ini, kau tidak kebetulan sedang lewat, kan?”

“Apa yang sedang kau katakan? Aku benar-benar ingin menikmati soju terakhir di Korea.” Irene tetap mengelak.

Taehyung tiba-tiba menarik tangan Irene hingga gadis itu berdiri dari ayunannya dan bergerak kearahnya. Pria itu kemudian memeluk pinggang gadis yang sudah berdiri di depannya itu.

Irene sontak terkejut, ia mengangkat kedua tangannya keatas. “A-apa yang sedang kau lakukan?”ia berusaha melepaskan diri namun Taehyung semakin melingkarkan kedua lengannya di pinggang Irene. “Ya! Taehyung!”

Jangan pergi…

“Untuk terakhir kalinya sebelum kau pergi.”

Aku mohon…

“Biarkan aku seperti ini sebentar.”

Irene tertegun. Hingga akhirnya gadis itu membiarkan Taehyung memeluknya. Dia adalah pria yang sulit mengungkapkan perasaannya. Agar orang lain tidak mengetahui kelemahannya dan agar orang lain tidak terbebani dengan kehadirannya. Daripada mengatakannya, dia memilih untuk memendamnya. Pergi ke suatu tempat dimana orang lain tidak bisa menemukannya dan kembali dengan senyum lebar setelah ia mendapatkan kekuatan.

Pria yang terlihat kuat namun sebenarnya memiliki luka bernanah. Pria yang penuh misteri. Pria yang akan marah jika seseorang berhasil menembus benteng pertahannya namun di sisi lain merasa lega.

Pria aneh.

Pria yang menjadi cinta pertamanya.

***___***

Jungkook beberapa kali mengecek ponselnya namun tidak ada balasan pesan dari Saeron. Padahal sudah 15 menit lalu ia mengirimi gadis itu pesan.

“Apa dia sedang sibuk?” Anak laki-laki itu bergumam sambil memainkan bolpoinnya. “Tapi walaupun begitu apa dia tidak punya waktu sebentar untuk membalas pesanku?” ia merutuk kesal. Akhirnya Jungkook menutup buku cetaknya dan berjalan keluar rumah. Semakin kesal, ternyata ia mendapati Saeron sedang duduk di atas dipan sambil menikmati ramyeon-nya.

“Kenapa kau tidak membalas pesanku? Apa kau sengaja mengabaikanku?”

Suara Jungkook membuat Saeron sontak terkejut. Gadis itu tersedak. Meletakkan mangkuknya, ia terbatuk-batuk sambil memukuli dadanya.

“Huh? Kau baik-baik saja?” Tanpa pikir panjang, Jungkook melompat di atas papan yang terhubung ke rumah Saeron, menghampiri kekasihnya itu dan memberikannya air minum. “Apa aku mengagetkanmu? Kau tidak apa-apa, kan?”serunya panik.

Saeron meminum air putih itu. Masih terbatuk-batuk, ia memukul kepala Jungkook, “Kau mau membunuhku?”

“Tidak. Bukan begitu. Itu karena kau tidak membalas pesanku padahal aku sudah menunggu selama 15 menit.”

“Ponselku ada di dalam. Aku tidak tau jika kau mengirimiku pesan.”

“Kau baik-baik saja?”

Saeron mendengus kesal, “Lagipula kenapa kau mengirimiku pesan? Kita bertemu setiap saat.”

“Aku kan ingin melakukan hal-hal yang di lakukan oleh pasangan. Walaupun rumah kita berdekatan, aku ingin terus mengobrol denganmu.” Saeron hanya mencibir. Pandangan Jungkook lalu beralih pada mangkuk ramyeon yang ada di sebelahnya. “Waaah, sepertinya enak.” Anak laki-laki itu mengambilnya dan mulai memakannya.

“Kau belum makan?”

Jungkook menggeleng, “Aku tidak pulang ke rumah hari ini.”

“Kenapa kau tidak mengatakannya padaku? Aku bisa membuatkanmu ramyeon.”

“Kalau begitu, aku akan memakan yang ini. Kau buat lagi ramyeon untuk dirimu.”balas Jungkook meringis lebar lalu mendekatkan kembali wajahnya ke dalam mangkuk.

Saeron berkecap sambil geleng-geleng kepala, “Kau menyedihkan sekali.”

“Ngomong-ngomong, kenapa kau makan ramyeon di luar seperti ini? Kau bisa masuk angin.”

“Aku menunggu Jimin oppa. Dia belum pulang.”

“Mungkin dia masih sibuk dengan pekerjaannya.”

“Mungkin saja.”

“Oh ya, besok kita harus ijin dari sekolah.”

“Huh? Kenapa?”

“Besok kita harus mengantar Irene noona ke bandara. Dia akan kembali ke China.”

Saeron sontak terkejut, “Apa?! Irene unnie akan kembali ke China?!”

“Kenapa kau terkejut seperti itu?”balas Jungkook bingung. “Dia masih merasa sedih dengan kepergian halmoni jadi ahjumma dan ahjussi memutuskan untuk membawanya pergi dari sini.”

“Tapi… apa itu tidak bisa di pikirkan lagi?”

“Kenapa kau sepertinya tidak ingin Irene noona pergi?”

Saeron mendesah panjang, “Aku tau Irene unnie menyukai Taehyung oppa.”

Mata Jungkook membulat lebar, “Darimana kau tau? Apa Irene noona yang memberitahumu? Aku pikir hanya aku yang mengetahuinya.”

“Karena saat aku berada di cafe, wajah Irene unnie terlihat sedih. Juga saat di pemakaman halmoni, saat Irene unnie menyuruh Taehyung oppa mengantarku, nada bicaranya terdengar jika dia sedang memaksakan diri.”

Jungkook menelan kunyahannya. Meletakkan mangkuk ramyeon-nya lalu terdiam selama beberapa saat.

“Dan ku rasa, sepertinya Taehyung oppa juga menyukai Irene unnie.”

“Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?”

“Taehyung oppa bukanlah seseorang yang akan perduli dengan orang lain. Kecuali orang itu adalah orang yang penting baginya. Kau tau kan kepribadiaannya sedikit dingin dan tertutup?” Jungkook mengangguk. “Tapi di pemakaman, Irene unnie menyuruhnya untuk mengantarku pulang tapi dia justru menyuruhmu sebagai gantinya. Aku yakin itu bukan karena dia sedang mengalah padamu tapi karena dia ingin berada disana lebih lama.”

“Benar juga. Dia juga yang bersama Irene noona saat halmoni dilarikan ke rumah sakit.” Jungkook baru tersadar kebenaran ucapan Saeron.

“Jika orang lain, Taehyung oppa tidak akan perduli.” Ia menggeleng. “Jadi sebenarnya dia juga menyukai Irene unnie hanya saja dia belum menyadarinya.”

Jungkook mengangguk-angguk. Jika di ingat-ingat, ada banyak bentuk perhatian yang di berikan Taehyung untuk Irene. Setiap malam selalu mengantar Irene pulang walaupun dia menggerutu.

“Kalau begitu kita harus menghentikan Irene noona. Dia tidak boleh pergi.” Jungkook berdiri dan menuruni anak-anak tangga.

“Kau mau kemana?” Saeron mengikutinya.

Namun baru sampai di anak tangga keenam, keduanya terkejut begitu mendapati Taehyung dan Irene muncul di gerbang. Jungkook langsung mendorong tubuh Saeron, menyuruhnya kembali.

“Naik! Naik!”

Kedua anak itu lalu bersembunyi di balik pagar pembatas balkon, mengintip dari celah-celah besi. Mereka hanya mengobrol sebentar lalu Irene masuk ke dalam rumah.

“Kenapa mereka bisa berdua? Bukankah Taehyung hyung bilang dia akan pulang?”

Saeron mengangguk, “Apa mereka janjian di luar setelah itu?”

Keduanya saling pandang bingung. Ada banyak pertanyaan yang tercipta di dalam kepala mereka tapi tak ada jawaban apapun atas semua pertanyaan itu.

“Wajahmu terlalu dekat, kau bisa membunuhku karena jantungku hampir melompat keluar.”bisik Jungkook membuyarkan keseriusan mereka. Saeron langsung memukul kepala kekasihnya itu lalu berdiri meninggalkannya, kembali duduk di atas dipan.

Jungkook mengaduh sambil menghusap kepalanya, “Kenapa kau memukulku?”

“Ini bukan saat yang tepat untuk mengatakan hal-hal seperti itu.”

“Kau memang hampir membunuhku. Jantungku berdetak sangat kencang.”

Saeron mendengus. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, “Haruskah kita menculik Irene unnie besok? Kita bawa dia ke tempat yang jauh agar dia tidak pergi.”

Jungkook berpikir sejenak, “Kita ke rumahnya saja.”

“Huh? Kapan?”

“Tentu saja sekarang!”

Jungkook menarik lengan gadis itu menuju rumah Irene. Sebenarnya sudah terlalu malam untuk berkunjung tapi mereka tidak punya waktu lagi. Besok adalah hari keberangkatan Irene.

“Noona! Irene noona!” Jungkook mengetuk pintu rumah Irene keras-keras, lebih mirip seperti gedoran membuat ibu Irene berlari-lari untuk membukakan pintu.

“Jungkook?” Ia terkejut begitu melihat Jungkook dan Saeron. “Ada apa?”tanyanya panik.

“Ahjumma, maafkan aku. Tapi aku harus bertemu dengan Irene noona.”

“Dia baru saja pulang dan sepertinya dia sudah—”

“Maafkan aku, ahjumma. Tapi ini penting.”

Jungkook menarik lengan Saeron memasuki rumah itu tanpa menunggu persetujuan dari ibu Irene. Mereka menuju lantai dua, menuju kamar Irene dan membuka pintunya tanpa mengetuk.

“Jeon Jungkook.” Irene yang ternyata baru akan merebahkan dirinya di ranjang terkejut melihat kemunculan Jungkook dan Saeron. “Kenapa? Ada apa?”

“Noona, ada yang harus kita bicarakan.”

“Ada apa? Kenapa wajahmu sangat serius?”

Berdiri di hadapan Irene, Jungkook menggenggam tangan Saeron dan menunjukkannya pada Irene. “Noona, kami sudah berkencan.”ucapnya. “Saeron menyukaiku. Dia tidak memiliki perasaan apapun pada Taehyung hyung. Aku rasa noona sudah salam paham dengan—”

“Aku tau.”potong Irene. Gadis itu tersenyum. “Aku tau jika itu hanyalah cinta sepihak.”

“Lalu apa noona akan mengubah keputusan noona? Noona tidak akan pergi?”

Irene menggeleng pelan, “Aku akan pergi besok.”

“Apa?! Kenapa?!” Jungkook sedikit menekankan nada bicaranya. “Noona tau jika itu hanyalah cinta sepihak, lalu kenapa noona pergi?”

“Unnie…” Saeron ikut bersuara. “Aku yakin Taehyung oppa juga menyukai unnie. Dia hanya belum menyadarinya. Unnie tau kan jika dia sedikit—”

“Itu juga cinta sepihak.”potong Irene lagi. Ia mengangkat wajahnya, menatap Saeron dengan senyum pahit. “Bahkan sehari sebelum keberangkatanku, dia tetap memikirkanmu. Saat bersamanya, aku terus berharap jika dia akan mengatakan ‘jangan pergi’ dan menahanku. Tapi dia tidak mengatakan apapun. Aku rasa aku akan menyerah sekarang.”

“Unnie.”

Irene berdiri, lalu mengganggam tangan Saeron dan tangan Jungkook erat. Menatap dua adiknya itu dengan senyum lebar, “Terima kasih karena sudah berusaha untuk membujukku. Tapi maafkan aku, sepertinya aku tetap tidak bisa mengubah keputusanku.”

***___***

“Kim Taehyung kau darimana saja? Kenapa baru pulang?”tanya Yoongi begitu Taehyung muncul.

“Oh, ada sesuatu yang harus ku kerjakan.”

“Apa yang harus kau kerjakan?”tanyanya. “Apa kau bertemu dengan Irene noona?”

Langkah Taehyung berhenti, ia menoleh kearah Yoongi sedikit terkejut, “Bagaimana hyung bisa tau?”

Yoongi tidak menoleh, tetap menatap layar televisi dan berkata dengan nada tenang, “Irene noona tidak mau menemui kami semua. Tapi dia pasti akan menemuimu karena saat ini kau adalah orang yang paling dekat dengannya.”

“Aku?” Taehyung menunjuk dirinya sendiri.

Yoongi menghela napas panjang sambil mengalihkan pandangannya, menatap Taehyung, “Kau pikir kami tidak tau? Selama ini kau sering pergi ke rumah Irene noona, kan?”

“Aku pergi kesana karena aku ingin menemui halmoni.”

“Kami semua memang mengenal Irene noona sangat lama, tapi tidak ada yang pernah menjadi sangat dekat dengan halmoni selain dirimu.” Taehyung hanya diam sementara Yoongi kembali menghela napas panjang. Ia mengambil remote dan mematikan televisi. “Irene noona akan pergi besok. Apa kau tidak berniat untuk menghentikannya?”

“Kenapa aku harus melakukannya?” Taehyung membuang pandangannya kearah lain.

“Karena aku tau kau juga tidak mau dia pergi.”

Taehyung sedikit terkejut dengan ucapan Yoongi barusan. Dia menelan ludah, tak bisa berkata-kata karena itu memanglah kebenarannya. Dia sudah mencoba menahannya. Dia sudah mengatakan dia tidak ingin gadis itu pergi. Tapi sepertinya Irene tidak mendengar ucapannya.

“Irene noona tidak akan mendengar ucapan siapapun kecuali kau.”ucap Yoongi lagi. “Katakanlah dengan jelas.”

***___***

Sinar matahari terasa memanasi wajahnya, mengganggu tidur nyenyaknya. Pria itu menggeliat lalu berbalik ke arah lain, membelakangi jendela. Namun sepertinya kesadarannya sudah terlanjur terkumpul menghilangkan rasa kantuknya. Jin mengerjapkan matanya pelan, kembali menggeliat di dalam selimut tebalnya.

“Kau sudah bangun?”

Ia sontak terkejut ketika ia mendengar suara perempuan. Ia langsung terduduk dengan mata terbuka lebar. Mendapati Chaeyeon sudah duduk di sofa kecil yang ada di dalam kamarnya.

“Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Kau pasti sangat lelah karena kemarin kau shooting seharian, kan?”

“Apa yang kau lakukan disini? Bagaimana kau bisa masuk?” Jin mengabaikan pertanyaannya.

“Ayah mertua yang memberitahu kode kunci kamarmu padaku. Dia memintaku untuk merawatmu.”

Jin menepis selimutnya dan berdiri, meninggalkan kamarnya dengan kesal. Ini masih pagi tapi dia sudah melihat wajah gadis itu.

“Kau mau aku memanaskan air untukmu?”tanya Chaeyeon lagi mengikuti Jin keluar. Jin tetap mengabaikannya. Ia berjalan menuju kulkas dan mengambil segelas air. Chaeyeon duduk di kursi meja bar di dapur Jin sambil menatapnya. “Bagaimana jika kita jalan-jalan hari ini?”

“Bbisakah kau pergi dari sini? Aku mulai muak.”balas Jin dingin.

Chaeyeon menarik napas panjang, berusaha menahan-nahan kesabarannya dan memaksakan dirinya untuk tetap tersenyum, “Kenapa? Kau sakit? Haruskah kita ke dokter?”

Jin meletakkan gelasnya di atas meja, “Kau bukan kekasihku, apalagi istriku. Jangan memperlakukanku seperti itu. Kau membuatku kesal.”

Rahang Chaeyeon mengeras, kesabarannya tak lagi bisa di tahan, “Aku adalah tunanganmu. Apa kau lupa?!”

“Tunangan?” Jin tersenyum mendengus. “Ini hanyalah hubungan pekerjaan antara ibumu dan ayahku.”

“Apa kau bilang?!” Nada suara Chaeyeon mulai meninggi. “Apa kau ingin aku membatalkan pertunangan ini?!”

“Aku akan berterima kasih jika kau melakukannya.” Jin menatap Chaeyeon lurus. “Jadi, apakah kau akan membatalkan pertunangan ini?”

“Apa kau tau apa resikonya jika aku membatalkan pertunangan ini? Ayahmu tidak akan memenangkan pemilu dan keluargamu akan jatuh miskin. Jangan lupa jika ayahmu memiliki banyak hutang dengan ibuku.”

“Maksudmu… dengan ayah tirimu?” Jin memperbaiki ucapan Chaeyeon. “Jangan bersikap seakan-akan kau adalah tuan putri. Kau tidak memiliki kedudukan apapun disana.”

“Brengsek.” Chaeyeon mengambil gelas dan menyiramkan airnya ke wajah Jin. Gadis itu kemudian pergi meninggalkan apartement.

Jin menghusap wajahnya dengan tangan lalu tertawa penuh kemenangan. Akhirnya dia bebas.

***___***

Jin benar-benar tidak membuang-buang waktunya. Dia ingin segera menemukan kebebasannya. Pria itu pergi ke kantor Hansan dan meminta untuk di pertemukan dengan nyonya Cheon. Di ruangannya, nyonya Cheon menyambut calon menantunya itu dengan senyum tipis.

“Tidak biasanya kau datang.”

Jin membungkukkan tubuhnya sopan lalu memberikan sekotak vitamin padanya, “Ada yang ingin aku sampaikan pada anda.”

“Apa kau sudah memutuskan tanggal pernikahannya?”

“Aku ingin membatalkan pernikahan, omoni.” Jin mengatakan itu dengan nada tenang, dengan senyum di wajahnya.

Senyuman di wajah nyonya Cheon sontak menghilang, “Apa?”

“Aku ingin membatalkannya.”ulang Jin lagi tetap tenang.

“Apa kau gila?”

“Sebagai gantinya, aku ingin menikah dengan nona Kang.”

Nyonya Cheon semakin terkejut, “Apa?”

“Aku menyukainya sejak pertama kali aku melihatnya. Aku mencintainya. Lagipula jika anda ingin membuat kesepakatan, bukankah seharusnya anda menikahkanku dengan tuan putri yang sebenarnya?”

“Jaga ucapanmu.”desis nyonya Cheon mulai kesal.

“Aku ingin menikah dengan nona Kang dan aku harap anda merestuinya.” Senyuman di wajah Jin berubah menjadi seringaian. “Karena jika tidak, mungkin aku akan mengatakan pada semua orang jika anda telah sengaja mengasingkan nona Kang keluar negeri dan berniat untuk menguasai semua kekayaannya.” Nyonya Cheon mengepalkan tangannya. Amarahnya sebentar lagi akan meledak keluar. “Oh ya, bukankah nona Kang juga tidak tau bagaimana keadaan ayahnya sekarang? Aku penasaran dengan reaksinya jika dia mengetahui kenyataannya bahwa sekarang ayahnya sedang koma dan kau juga menyembunyikan dimana keberadaannya sekarang.”

“Kau telah bermain-main dengan orang yang salah.”

Seringaian itu menghilang, ganti dengan tatapan tajam yang menatap nyonya Cheon tanpa gentar, “Anda yang memulai semua ini. Anda yang bermain-main dengan kehidupanku. Sekarang, sebaiknya anda berhenti menggangguku jika anda tidak ingin aku menghancurkan semuanya.”

Pria itu lalu berdiri, bergegas untuk meninggalkan tempat itu, “Aku akan menganggap jika pertunangan ini telah batal. Tapi… anda akan tetap membantu ayahku, kan? Walaupun pertunangan ini batal, aku tetap akan menjadi menantu anda dan aku tetap akan memanggil anda dengan sebutan ibu mertua.” Jin tersenyum tipis. “Kalau begitu aku permisi.”

Pria itu meninggalkan tempat itu bersamaan dengan bunyi bantingan dan teriakan yang terdengar. Senyuman di wajah Jin semakin mengembang lebar. Ini baru permulaan.

***___***

“Sudah waktunya, ayo pergi.” Jungkook dan Saeron meninggalkan sekolah saat jam istirahat. Keduanya menyetop taksi dan bergerak menuju bandara. Namjoon dan yang lain juga sedang dalam perjalanan menuju kesana. Dua jam sebelum keberangkatan. Waktunya semakin dekat.

Sesampainya di bandara. Jungkook dan Saeron melihat yang lain dan menghampiri mereka. Melihat anak laki-lakinya datang bersama Saeron, tuan Jeon sontak terkejut.

“Dimana Irene noona?”tanyanya.

“Mereka sedang pergi sebentar untuk check-in tiket.”

Jungkook lalu mengalihkan pandangannya pada Taehyung yang hanya diam. “Hyung tetap tidak akan melakukan apapun? Hyung akan diam saja?”

“Jeon Jungkook, ada apa denganmu?”seru Hoseok bingung.

“Apa bahkan sampai saat ini hyung tetap ingin dia pergi?”

“Oppa…” Saeron mencekal lengan Taehyung. “Apa oppa tidak menyadarinya juga?”

“Ada apa ini? Apa yang sedang kalian katakan?” Hoseok yang sama sekali tak mengerti mencoba bertanya pada keduanya namun Namjoon menariknya agar dia tetap diam di tempat.

“Hyung, Irene noona menyukai hyung!”bentak Jungkook membuat kedua mata Taehyung langsung terbelalak lebar. “Apa hyung tetap tidak menyadarinya? Kami semua bahkan mengetahui itu!”

“…Apa?”

“Aku tau mungkin hyung masih bimbang dengan perasaan hyung sebenarnya tapi apa hyung benar-benar ingin dia pergi? Hanya hyung yang bisa menghentikannya!”

“Jeon Jungkook, hentikan.” Yoongi menarik lengan Jungkook mundur. “Kau tidak bisa memaksa seseorang.”

“Kita baru saja bertemu dengan Irene noona setelah sekian lama. Apa hyung mau dia pergi lagi?”

“Jeon Jungkook hentikan. Kita harus memikirkan perasaannya dan perasaan Irene noona. Hentikan. Cukup.”

Jungkook menepis tangan Yoongi lalu mengacak rambutnya, “Sial. Jika saja aku bisa menghentikannya.”

Namjoon hanya menghela napas panjang melihat tingkah Jungkook. Yoongi benar. Mereka tidak bisa memaksakan perasaan seseorang. Walaupun dia juga berharap Taehyung akan menahan Irene sekarang. Tapi mereka juga harus memikirkan bagaimana perasaan Taehyung.

“Sudah waktunya.”

Irene datang menghampiri mereka, “Aku harus pergi sekarang.”

“Noona, apa noona benar-benar harus pergi?”tanya Hoseok. “Apa tidak bisa disini saja? Tidak akan ada yang memasak untukku lagi jika noona pergi.”

Irene terkekeh, “Jangan terlalu sering makan ramyeon, mengerti?”

“Udaranya mulai dingin. Jangan keluar tanpa memakai jaket.”ucap Yoongi sambil membuka jaketnya dan menyampirkannya di pundak Irene.

Irene mengangguk, “Terima kasih.”

“Aku akan sering-sering menghubungi noona.”sahut Namjoon.

“Aku tau.”

“Aku membawakan beberapa vitamin untuk orang tuamu. Jagalah mereka dengan baik.” Tuan Jeon memberikan sebuah tas plastik pada Irene.

“Benarkah? Terima kasih, ahjussi.”

Irene lalu mengalihkan pandangannya pada Jungkook yang sejak tadi memasang wajah kesal. Gadis itu tersenyum, “Kau tidak mau mengatakan apapun padaku?”

“Walaupun aku mengatakannya, kau tetap tidak akan mendengarnya.”balas Jungkook. Beberapa detik kemudian ia menghela napas panjang dan memeluk Irene.

Irene menepuk-nepuk punggung belakang anak laki-laki itu, “Belajarlah yang rajin dan jangan merepotkan ayahmu lagi. Dengarkan ucapannya dan dengarkan ucapan hyung-mu.”

Jungkook melepaskan pelukannya sambil mengangguk, “Pergilah.”

Irene tersenyum, “Aku pergi dulu.”serunya lalu berbalik, menghampiri orang tuanya yang sudah menunggu di bawah tangga eskalator.

“Hati-hati. Hubungi kami jika sudah sampai.” Hoseok melambaikan tangannya. Setelahnya ia menghela napas panjang dan bergumam, “Kenapa aku sedih sekali?”

Namun tiba-tiba dari belakang semua orang, seseorang tiba-tiba saja berlari. Pria itu menahan lengan Irene yang sudah akan naik eskalator, membuatnya menoleh terkejut.

“Jika aku menahanmu sekarang, apa kau tidak akan pergi?”

Irene mengerjap kaget, “Apa?”

***___***

Jimin hanya bisa menghela napas panjang lalu mematikan ponselnya karena Chaeyeon sejak tadi terus menghubunginya. Gadis itu memintanya untuk mendatanginya di suatu tempat. Jadi ia terpaksa mematikan ponselnya karena jika Seulgi tau, dia pasti akan marah besar.

“Jimin.”panggil Seulgi yang sedang berbaring di sofa panjang, menatap Jimin yang duduk di sofa yang lain.

“Hm?”

“Apakah aku tidak boleh memiliki ponsel?”

Jimin menarik punggungnya dari sandaran sofa, “Kenapa? Kau ingin punya ponsel?”

“Tentu saja. Kau punya ponsel, Saeron juga. Kenapa aku tidak punya?”

“Sebaiknya kau tidak memiliki ponsel.”

“Huh? Kenapa?”

“Jika kau memiliki ponsel, kau akan di ganggu oleh banyak orang. Belum lagi jika para dewan direksi mengetahui nomor ponselmu, mereka akan terus mengganggumu. Lagipula dokter bilang kau tidak boleh stress. Ponsel akan membuatmu sangat stress jadi sebaiknya kau tidak memilikinya.”

Seulgi bangkit dari tidurnya dan duduk bersila, “Kalau begitu setidaknya belikan aku Televixi. Aku ingin menonton drama.”

“Televisi juga tidak boleh.” Jimin menggeleng.

“Kenapa?”protes Seulgi.

“Televisi juga akan membuatmu stress. Jika kau ingin nonton drama, kau bisa menontonnya di ponselku.”

“Ponsel tidak boleh. Televisi juga tidak boleh. Sudah bertahun-tahun aku hidup seperti ini. Aku seperti hidup di pulau terpencil yang sangat terbelakang.”

“Anggap saja seperti itu.” Jimin tersenyum geli membuat Seulgi semakin kesal.

“Jimin!” rengek Seulgi. Gadis itu melemparkan bantal yang di pegangnya pada Jimin lalu berbaring kembali sambil membuang pandangannya, “Kau benar-benar menyebalkan. Aku membencimu.”

Jimin berpindah duduk di lantai, di hadapan Seulgi dengan senyum geli, “Kau membenciku?”

“Pergi. Aku tidak mau melihatmu lagi.”rutuk Seulgi kesal lalu berbalik membelakangi Seulgi.

“Tuan Putri.” Jimin memanggilnya. “Nona Kang. Nona Muda.”

“Jimin.” Tiba-tiba bibi Yang datang dengan wajah gelisah. “Ada seseorang yang datang.”

Kening Jimin berkerut, ia langsung berdiri, “Siapa?”

“Aku tidak tau. Tapi dia laki-laki. Dia bilang dia ingin bertemu dengan nona Kang.”

Jimin langsung berjalan keluar menghampiri tamu itu. Sebelumnya, mereka tidak pernah kedatangan tamu apalagi seorang pria karena tidak ada yang mengetahui tempat ini. Mungkinkah salah satu anggota dewan direksi?

Dugaan Jimin ternyata salah. Seorang pria tinggi dengan style modis berdiri di taman dan menoleh saat menyadari kehadiran Jimin.

“Kau?!” Jimin terkejut melihat tamu yang ternyata adalah Jin itu.

Jin melepas kacamata hitamnya, “Aku ingin bertemu dengan nona Kang. Apa dia ada di dalam?”

“Bagaimana kau bisa menemukan tempat ini?”

Jin tersenyum, “Bukankah itu sangat mudah?”

Rahang Jimin mengeras, “Bukankah nona Kang sudah melarangmu untuk bertemu dengannya?”

“Aku ingin mengatakan sesuatu yang penting padanya. Dan aku juga memiliki ijin dari nyonya Cheon.”ucapnya. “Jika kau tidak percaya, kau bisa menghubunginya sekarang.”

Jimin menatap pria itu selama beberapa saat. Hingga akhirnya membiarkannya masuk ke dalam. Dia datang dengan percaya diri, sepertinya nyonya Cheon benar-benar telah mengijinkannya datang kemari. Tapi… kenapa?

“Selamat siang nona Kang.” Jin menyapa Seulgi yang sedang berbaring di sofa.

Melihat Jin, Seulgi langsung bangun dari tidurnya, “Jin?”

“Apa aku mengganggumu?”

“Kenapa kau ada disini?”tanya Seulgi bingung.

“Aku datang untuk menagih janjimu.”

Kening Seulgi berkerut, “Apa?”

“Kau bilang kau akan makan siang denganku.”

“Bukankah aku sudah bilang jika—”

“Aku bukan lagi tunangan saudara tirimu.” Potong Jin.

Detik itu juga, Seulgi terperangah hebat, “Kau bilang apa?”

“Pertunangan kami sudah di batalkan.”

***___***

Jimin menyalakan ponselnya dan langsung mendapatkan banyak pesan dari Chaeyeon. Dia membuka tumpukan pesan itu dan membaca pesan yang berada di paling atas.

Bunuh mereka.

TBC

Tinggalkan komentar