When We Married [Chapter 2]

When We Married [Chapter 2]

Author : Chanminmaa

Title: When We Married [Chapter 2]

Recommended Song : Wendy – Because I Love You

Cast: Sehun EXO-K, Luhan EXO-M, Song Raeun [OC] // Genre: Sad, Romance, Married-Life // Rating: PG

Summary:

“Bukankah sepasang mata ini memang diciptakan hanya untuk melihatmu?”

***

When tears form in my eyes
When tears flow in my cheeks
Cry out loudly—the sadness will be shocked and run away

When my heart is so in pain
When my heart is crumbling
Laugh loudly—so hope can come find me

***

Aku menyentuh permukaan jendela itu sekali lagi, mengubah titik-titik embun yang berada di sana menggunakan telunjukku hingga membentuk satu nama yang amat kurindukan. Oh Sehun.

Lelah, aku menatap jengah ke arah van hitam yang kini mulai memasuki halaman rumahku. 3 hari menghabiskan waktu hanya untuk melamun dan berdiam diri seperti ini—kedatangan namja itu tentu bukan yang kutunggu.

“Ada apa Luhan-ssi?” tanyaku langsung begitu usai membuka pintu, aku yakin namja itu bisa menangkap rasa tidak suka dari nada bicaraku.

Sikapku ini pasti sangat kekanakan. Lagipula Luhan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kesalah pahaman yang terjadi antara aku dan Sehun.

“Maaf.” desahku pelan, penuh penyesalan. “Sepertinya aku terlalu sensitif akhir-akhir ini.”

Mengangguk paham, Luhan hanya tersenyum memaklumi. “Tidak apa, itu wajar.”

Ya, berhadapan dengannya memang terasa jauh berbeda ketika berhadapan dengan Sehun. Aku tentu tidak bisa membandingkan keduanya.

“Jadi, apa yang membuatmu kemari?”

Sejenak diam, aku bisa melihat perubahan raut yang ada di wajahnya. Luhan masih bergeming, mengambil sesuatu di balik jas-nya dan memberikan benda itu padaku.

“Apa ini?” tanyaku heran, meraih uluran amplop coklat di tangannya.

“Naeun sudah menceritakan semuanya padaku.” ujarnya hati-hati, “Aku tahu aku tidak berhak mencampuri masalah kalian, tapi…hanya ini yang bisa kulakukan. Maaf, selama 3 hari ini aku sudah mencari informasi tentang keberadaan Sehun.”

Deg!

Tergesa membuka amplop di tanganku, perkataan Luhan barusan sontak membuat seluruh saraf di tubuhku seakan berhenti bekerja. Lumpuh total begitu melihat siapa sosok yang berada di dalam foto-foto ini.

***

“Kau sudah bangun?”

Setelah meletakkan secangkir teh di atas meja, aku beranjak duduk tepat di sebelahnya. Sehun hanya mengangguk kecil selagi matanya mengerjap pelan—ikut duduk dan bersandar pada headboard ranjang.

“Dimana aku?” tanyanya dengan suara serak, lalu beralih memijit kepalanya yang mungkin masih terasa berdenyut akibat terlalu banyak meminum alkohol kemarin.

Mengulas senyum simpul, aku hanya mengangkat bahuku ringan.

“Entahlah, kau bisa menebaknya sendiri.” kataku bergurau, menunjuk salah satu pigura yang tertata rapi di atas nakas, “Foto itu mungkin akan menjadi petunjuk.”

Ya, hanya ada foto pernikahan di kamar kami. Sehun pasti akan dengan mudah mengetahuinya.

“Kau ingat?”

Cemas, lama kulihat Sehun hanya diam seraya memandangi foto kami. Namja itu terlihat tengah berfikir keras, sesekali memegang kepalanya—tampak kesakitan. Apa efek alkohol itu berdampak kuat?

“Sayang, apa kau mengingatnya?” tanyaku ulang.

“Aku tidak tahu…”

Tidak mungkin.

Aku yakin hal semacam itu tidak akan terulang lagi. Dokter bahkan sudah memastikannya. Oh Sehun telah dinyatakan sembuh, maka tidak ada alasan bagiku untuk menghawatirkan hal itu.

Menghabiskan teh yang sudah kuberikan, entah kenapa melihatnya yang seperti ini justru semakin membuatku takut. Oh Sehun bersikap biasa seolah tak ada hal besar yang terjadi.

“Sayang, bisa kau sebut namaku?”

***

“Diamlah sebentar,” kataku sebal, sedari tadi Sehun tidak berhenti bergerak padahal aku tengah memasangkan plester di pelipisnya.

“Jika bertemu dengannya lagi, aku pasti akan menghajarnya.”

Lucu sekali, aku suka melihat ekspresi Sehun saat merasa kesal. Sayangnya ekspresi seperti ini hanya akan muncul jika dia sedang berada dalam keadaan yang paling kubenci.

“Kau ingat namanya?” tanyaku memastikan dan Sehun mengangguk antusias.

“Mana mungkin aku tidak ingat namanya, Luhan hyung akan selalu menjadi musuh bebuyutanku. Kau tahu itu, ‘kan?”

“Ya.”

Tentu saja aku mengerti. Sehun membenci Luhan sejak dulu, tapi dia mengingat nama dan semua hal tentang namja itu bahkan disaat memorinya tak lagi mengingatku.

“Dia mencoba merebutmu dariku.” cicitnya pelan, “Dia namja brengsek yang selalu berusaha mendekati kekasihku. Aku tidak akan pernah melupakannya.”

Kekasih? Kita sudah menikah 2 tahun yang lalu, Oh Sehun.

“Kalian hanya sama-sama mabuk kemarin.” ujarku berbohong, “Kau yang memukulnya duluan, dia tidak akan memukulmu jika bukan kau yang memulainya.”

Aku tidak bermaksud membual. Karena kenyataannya Luhan lah yang membantuku untuk menemukan Sehun kemarin, Namja itu yang memaksa Sehun untuk pulang, sampai-sampai harus bertengkar dengannya di pub tempat Sehun berada.

“Tapi tetap saja dia memukulku.” sungutnya tak terima.

Sebenarnya berapa usia seorang Oh Sehun di masa ini? Sikap serta sifatnya jelas terlalu kontras untuk namja yang sudah berusia 27 tahun.

***

Jika saja aku tahu bahwa kesalah pahaman yang terjadi antara kami akan berakibat fatal. Bisa kupastikan kalau aku tidak akan pernah membantu Luhan kala itu. Benar. Bukankah Sehun menghilang dan tidak pulang sejak melihatku sedang membenarkan dasi Luhan di kamar 3 hari yang lalu?

“Oh Sehun? Kau…Oh Sehun, bukan?”

Siapa ahjumma ini? Mengapa Sehun membawaku ke Panti Asuhan?

“Apa aku terlihat seperti Oh Sehun?”

Sehun bertanya balik pada ahjumma itu, berniat menggodanya hingga membuat wanita tua itu merogoh kaca mata tebalnya di saku. Menelisik Sehun dan aku secara bergantian.

“Ya, kau memang Oh Sehun dan gadis ini adalah—”

“Kejutan! Ahjumma, apa kau senang melihat kami? Aku bahkan membawa Jihyun kemari.” sela Sehun cepat, menarik tanganku agar mendekat pada ahjumma yang kini tengah berdiri di ambang pintu.

Sepertinya bukan hanya aku yang terkejut mendengar perkataan Sehun di sini. Wanita tua itu sama halnya denganku, kami sama-sama terkejut ketika Sehun begitu gamblangnya menyebut nama itu.

“Jihyunnie?”

“Benar. Oh, lihat. Penyakit pikun ahjumma semakin parah saja. Bisa-bisanya ahjumma melupakan Jihyun.”

Bukan ahjumma itu yang lupa Sehun-ah, tapi kau.

“Ahjumma~ aku Yoon Jihyun, apa kau ingat?” tanyaku seakrab mungkin—sesaat mencoba memberi sebuah kode pada ahjumma ini agar dapat mengerti maksudku.

Ya, aku harus mencari waktu yang tepat untuk membuat Sehun kembali pada ingatannya. Berbicara mengenai hal ini pada Dokter yang pernah merawat Sehun sebelumnya.

“Benarkah? Kenapa aku bisa lupa pada anak kesayanganku sendiri. Maafkan ahjumma ya, Jihyunnie?”

Menghela nafas lega, aku sungguh akan berterimakasih padanya setelah ini.

Tsk, kau membuat Jihyun merasa sedih ahjumma.”

***

“Sedari tadi kau tidak berhenti tersenyum.”

Menoleh kaget, kedatangan Sehun yang terkesan tiba-tiba sontak membuatku tersadar dari lamunan. Menerima bubble tea yang namja itu berikan, sesaat aku kembali hanyut dalam suasana yang ada di sekitar kami.

“Mereka tampak begitu menggemaskan.” kataku tanpa sadar, menatap kerumunan anak-anak yang tengah asik bermain di halaman.

“Saat masih kecil, kau juga sama menggemaskannya seperti mereka.”

“Apa?”

Terkekeh pelan, Sehun menunjuk salah satu gadis kecil yang sedang duduk di ayunan. “Kau persis seperti dia.”

Aku tidak mengerti.

“Darimana kau tahu kalau aku seperti gadis itu?” tanyaku heran dan entah apa yang lucu, Sehun justru tergelak mendengar pertanyaanku. Sejenak membuatku terpesona melihat tawanya yang belum pernah kulihat bahkan selama 2 tahun kami menikah.

“Gadis bodoh, kau sama saja seperti ahjumma.” ledeknya sembari mendorong kepalaku menggunakan telunjuk—sesuatu yang tidak pernah ia lakukan padaku sebelumnya.

“Kau pikir sudah berapa tahun aku mengenalmu? Seumur hidup, aku mengenalmu hampir seumur hidupku dan itu bukan waktu yang singkat.”

Seumur hidup? Kurasa aku mulai ingat kalau Jihyun juga pernah mengatakan hal yang sama padaku dulu. Kau benar Oh Sehun, seumur hidup bukan waktu yang singkat. Apalagi untuk merebut cintamu dari Jihyun.

“Ah, ya, aku sudah tahu. Aku hanya berpura-pura tadi.”

Sakit sekali.

Aku merasa seperti orang paling jahat di muka bumi. Bagaimana mungkin selama ini aku bisa hidup tenang sementara secara tidak langsung akulah orang yang sudah membuat Sehun menderita—terjebak dalam labirin pernikahan kami.

Hening, lama kami terdiam dalam pikiran masing-masing. Sesaat bisa kurasakan Sehun yang kini beralih menggenggam satu tanganku lembut.

“Maukah kau berjanji satu hal padaku?” gumamnya tidak jelas, tapi tampak begitu serius. “Jangan pernah lari dariku atau mencoba berpaling pada Luhan hyung.”

Tidak adil.

Mengapa hanya aku satu-satunya orang asing yang harus selalu terlibat di antara mereka? Mengapa Oh Sehun terus menarikku masuk ke dalam memorinya dan bermain dengan kenangan-kenangan lama, sementara dia bisa bangun untuk menerima kenyataan bahwa aku bukanlah Yoon Jihyun, melainkan Song Raeun—gadis yang telah menyandang status sebagai istrinya.

“Tidak akan.” jawabku pasti. “Bukankah sepasang mata ini memang diciptakan hanya untuk melihatmu? Jadi, mana mungkin aku bisa berpaling dengan yang lain.”

***

“Maafkan saya ahjumma.”

Datang secara tiba-tiba dan membuat kebohongan besar. Aku tahu akulah yang bersalah atas semua ini, permintaan maaf memang hal yang paling sederhana yang bisa kulakukan.

“Tidak, jangan membungkuk seperti itu.” ujar wanita tua itu, mengajakku untuk ikut bersamanya dan meninggalkan counter dapur—menjauh dari meja makan, tempat dimana Sehun makan bersama anak-anak itu.

“Kau pasti memiliki alasan mengapa melakukan semua ini, bukan?”

Mengangguk pelan, melihat wajah ahjumma yang tampak begitu teduh sejenak membuatku merasa nyaman. Sosok ini…kenapa aku seperti sudah mengenalnya sejak lama?

“Luhan kecil, Sehun kecil, dan Jihyun kecil.” wanita tua itu bersenandung sembari menggiringku untuk duduk di sofa ruang tamu, “Mereka bertiga seakan tidak bisa dipisahkan.”

“Nde?”

“Sejak awal Jihyun adalah bagian dari Sehun, sedangkan Luhan datang yang paling akhir. Aku juga tidak mengerti kenapa gadis malang seperti Jihyunnie bisa berada di antara kedua bocah laki-laki itu. Apalagi sampai memberikan pengaruh besar pada mereka.”

“Apa maksud anda?”

“Jadi kau benar-benar tidak mengingatku, Song Raeun?”

***

“Aku mengingat wajah kalian dengan jelas. Song Naeun dan Song Raeun, gadis kembar putri seorang konglomerat penyumbang dana terbesar di Panti Asuhan ini. Memiliki fisik yang sama, tapi sayangnya salah satu dari mereka harus mengalami cacat sejak lahir dan tidak bisa melihat.”

Lagi, aku menangis sembari meremas foto tua yang di berikan ahjumma tadi padaku. Tidak menyangka kalau aku bisa melupakan rahasia besar di balik kehidupanku yang tampak sempurna.

“Ayah kalian yang selalu berpesan padaku untuk merawat Jihyun dengan baik. Sejujurnya aku tidak mengerti mengapa beliau mau mengadopsi gadis yang sakit-sakitan seperti Jihyun sementara dia sudah dikaruniai dua putri yang sehat.”

“Dimana Appa?” tanyaku pada pelayan yang berdiri di depan pintu rumah. Masih menangis, aku berlari menaiki tangga menunju kamar Appa yang berada di lantai atas.

“Dan, sejak kapan kau bisa melihat?”

“Apa kabar Jihyun di sana baik-baik saja?”

“Bagaimana bisa kau datang kemari bersama Sehun?”

“Apa kau juga mengenal Luhan?”

“Sebenarnya, apa yang sedang terjadi?”

Tergesa membuka knop pintu, aku memasuki kamar Appa dengan penuh amarah. Mendapati sosok paling kejam dan egois itu berada di sudut ruangan, duduk di atas kursi roda menghadap jendela—sekejap membuat tangisku semakin menjadi.

Lalu apa yang harus kulakukan?

Bagaimanapun pria tua yang kejam dan egois itu adalah Ayah kandungku sendiri. Mungkin dia memang tidak berperasaan, tapi dia melakukan semuanya demi aku…agar aku bisa melihat.

“Jadi, inikah yang kau sebut ‘hadiah’?” tanyaku dengan nada tinggi, “Kau pernah menjanjikan sebuah ‘hadiah’ sewaktu aku masih kecil. Kau berjanji akan membuatku bisa melihat layaknya Naeun eonni. Tapi, inikah yang kau sebut sebagai ‘hadiah’?”

Terisak kencang, aku berjalan mendekat ke arah Appa. Berdiri tepat di belakang kursi rodanya.

“Yoon Jihyun hanya sebuah alat yang digunakan untuk menyokongku. Itu benar, bukan?”

“Apa yang sedang kau bicarakan?!” bentaknya, “Siapa yang berani mengatakan semua itu padamu?”

Ya, sepertinya aku sudah membuat kesalahan.

Melupakan pelajaran paling penting bahwa tidak seharusnya aku menuruti amarahku dan memberontak pada Appa. Tidak ada yang tahu apa saja yang bisa pria tua ini lakukan nanti, sesuatu yang mungkin jauh lebih buruk dari ini.

Berniat meminta maaf, aku baru saja akan berlutut untuk memohon padanya. Tapi Appa sudah terlanjur berbalik, menjalankan kursi rodanya dan melewatiku begitu saja.

“Bercerailah dengan Oh Sehun.” desisnya dingin, sejenak berhenti tak jauh dariku.

“Appa…”

“Kau harus bercerai dengan Oh Sehun karena itu adalah perintah!”

-TBC-

N/A:

Err…hai? >.< Apa masih ada yang ingat dengan FF ini? Huaaa~ maafkan author karena lama sekali mengupdate Chapter 2-nya yaa. 😦 Nggak berniat buat php, karena—yeah, I have a lot of problems. o(╥﹏╥)o
Sekali lagi author minta maaf dan semoga jalan cerita di Chapter ini bisa menebus ketidak konsistenan(?) author yang labil.

Mudah-mudahan tidak ada lagi readers yang merasa dibuat bingung yaa. Heuheu.

Chapter 3? Seperti biasa, semakin banyak komen semakin cepat dipublish ^^

Find another story from me and don’t forget to visit my personal blog! http://chanminmaa.wordpress.com/ maybe you want to ask me about the next chapter? 🙂

 

 

 

 

9 respons untuk ‘When We Married [Chapter 2]

  1. kyuRiani18 berkata:

    Uda lama nunggu chapter dua,,tp ceritanya masih bikin penasaran..di tunggu ya chapter selanjutnya semoga chapter selanjutnya dan selanjutnya gak lama lg nungunya jd sempat lupa sm ff ini..

  2. mutiabil berkata:

    haaaahh setelah diobok-obok ternyata udah di post yg chap 2 hehe ^^v
    aaaaaa kenapa dikit banget thoorrrr 🙂
    walaupun awalnya agak bingung jd sedkit ngerti hehe
    next chap asap ya thor ^^ *bbuing

Tinggalkan Balasan ke mutiabil Batalkan balasan